BANDARLAMPUNG � Minimnya penanganan tindak pidana pemilu 2019, baik oleh penyelenggara pemilu maupun calon legislatif (caleg), menggelitik hati nurani, Wiliyus Prayietno, S.H., M.H. Menurut Ketua Lembaga Transformasi Hukum Indonesia (THI) itu, dengan struktur komposisi keanggotaan Bawaslu yang ada kini, semestinya keberadaan lembaga itu menjadi lebih kuat. Bahkan dengan UU Nomor 7/2019, Bawaslu harusnya lebih tegas menindak semua kecurangan pidana pemilu.
�Tapi nyatanya beda. Bawaslu Lampung dan jajarannya terkesan melempem menindak dugaan kecurangan pemilu 2019,� tutur Wiliyus.
Dipaparkan Wilius, pada Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2014 lalu, disaat komposisi keanggotaan Bawaslu Lampung hanya diisi tiga orang yakni Nazarudin, Fatikhatul Khoiriyah dan Ali Sidik, eksistensi dan kinerja mereka justru maksimal. Bahkan diakui dan mendapat penghargaan ditingkat nasional. Kala itu, puluhan penyelenggara pemilu dan caleg diseret ke pengadilan dan diproses hukum lantaran melanggar pidana pemilu dan kode etik penyelenggara pemilu.
Seperti oknum komisioner atau penyelenggara pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung Barat (Lambar), Tulang Bawang Barat (Tubaba), Tulang Bawang (Tuba) dan Lampung Tengah (Lamteng). Mereka dijerat pidana karena melakukan penggelembungan atau perubahan suara.
Misalnya perubahan suara caleg DPR RI dari Partai Golkar Dapil Lampung I. Lalu penggelembungan suara Caleg DPR RI dari Partai Demokrat Dapil Lampung II. Serta perubahan suara dari Caleg DPRD Provinsi Lampung yang merugikan caleg lainnya, Dedi Afrizal. Bahkan dimasa itu ada juga ketua KPU tingkat kabupaten beserta caleg yang dipenjara karena terbukti menerima suap.
�Tapi dengan keanggotaan Bawaslu yang kini berjumlah 7 orang, didukung lagi dana yang melimpah serta perangkat perundangan yang lebih tegas dan sanksi pidana tinggi, kinerja mereka malah terlihat tak maksimal. Kini minim dugaan pelanggaran kecurangan pemilu yang ditangani. Saya tidak mengerti mengapa semua bisa terjadi. Saya berdoa mereka tetap amanah dan tidak terkena azab Allah SWT,� tegas Wilius lagi.
Diuraikan Wilius di beberapa pasal UU Nomor 7/2019, tegas mengatur sanksi pidana. Seperti pasal 532 UU Nomor 7/2019, yang menegaskan jika merubah atau menggeser perolehan suara, bisa dipidana 4 tahun penjara dan denda Rp48 juta. Lalu ada juga kewajiban setiap anggota PPS mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerja yang jika dilanggar dapat dipidana kurangan satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta sebagaimana diatur di pasal 508 UU Nomor 7/2019. Belum lagi pasal lainnya.
Tapi nyatanya sekali lagi, pihaknya hampir-hampir tidak mendengar penanganan kasus-kasus seperti ini. Kalaupun ada hanya segelintir kecil. Padahal di beberapa kabupaten, jelas terdengar dan mencuat di media massa bahwa praktek penghilangan atau pergeseran suara antara kontestan pemilu marak terjadi seperti kasus pergeseran suara antara caleg di internal parpol dll.
Contoh di Bandarlampung, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Barat sehingga terjadi penghitungan suara ulang bahkan pencoblosan suara ulang.
�Yang perlu diingat, meski sudah direvisi dan diperbaiki, ini tidak menghilangkan unsur tindak pidana. Seret oknum penyelenggara pemilu dan caleg yang jelas-jelas terbukti manifulasi dan curang karena itu merupakan tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik. Dan disini, saya juga minta KPU Provinsi Lampung untuk tidak melindungi jajarannya yang terbukti melakukan penyimpangan,� pungkas Wiliyus.(red)