TUBABA – Nama Islamwathon, mungkin terdengar sangat asing, khususnya untuk penduduk di Kabupaten Tulangbawang Barat. Tapi tahukah jika Islamwathon dulunya merupakan cikal bakal dan pondasi awal pendidikan di Lampung, khususnya Bumi Ragem Sai Mangi Wawai.
Dulu sekali, Islamwathon adalah wadah pendidikan berbasis Islam yang didirikan untuk masyarakat pribumi (diluar sekolah yang dibuat zaman penjajahan).
Menurut sejumlah keterangan dan saksi hidup, sekolah ini didirikan 17 tahun sebelum Indonesia merdeka atau tepatnya pada 16 Jumadil Awal atau 20 November 1928 oleh empat orang, yakni Syeh Badarudin Nawawi, Hi. Ali Rido, Tuan Pujian serta Zakaria Nawawi yang saat itu ditunjuk sebagai kepala sekolah. Lokasi awalnya berdiri ada di Tiyuh Panaragan
Namun, saat itu, hanya orang tertentu atau golongan tertentu yang dapat mengenyam pendidikan di sana. Selain karena kondisi ekonomi masyarakat dan tingkat pemahaman
Pasalnya sekolah adalah sesuatu yang asing bagi masyarakat. Sekolah hanya diperbolehkan untuk kaum atau golongan tertentu seperti kaum elit dan kaum bangsawan. Selain itu, masyarakat yang serba miskin menjadikan pendidikan atau sekolah tak begitu diminati.
Menurut Drs. Kholdi Zawawi, salah satu tokoh Tubaba, Islamwathon dibangun dari hasil gagasan Hi. Zakaria dan kawan-kawan akibat dari keprihatinan mereka terhadap dunia pendidikan di bumi Panarag (saat ini panaragan).
�Di zaman itu rakyat jarang bahkan tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah. Sebab begitu mahalnya pendidikan dan dibatasi oleh para penjajah. Sekolah hanya diperuntukan bagi kaum penjajah dan antek-anteknya,� katanya.
Drs Kholdi menuturkan, Hi. Zakaria adalah seorang saudagar kaya asal Kota Mekah, Arab Saudi. Adiknya Maimunah adalah istri dari seorang saudagar arab berkebangsaan Indonesia, tepatnya berasal dari Panaragan (sekarang masuk Kabupaten Tulangnawang Barat Kecamatan Tulang Bawang Tengah).
Saat itu Zakaria menerima surat dari adiknya yakni Maimunah yang ingin kakaknya segera menjemputnya pulang ke Mekah, Arab Saudi.
Singkat cerita itu Zakaria pun datang ke bumi Panarag. Ia datang melalui jalur sungai/laut.
Konon di zaman itu pusat pelabuhan terbesar ada di sungai Tulangbawang Kota Menggala dan melalui jalur sungai Waykiri.
Zakaria tiba di pelabuhan kecil, tepatnya dibelakang sekolah Islamwathon saat ini.
Siapa kira, Zakaria malah betah di Panarag. Ia yang semula ingin membawa adiknya pulang ke kampung halamannya malah betah dan tinggal lama di Panaragan.
Selama masa itu, Zakaria melihat keprihatinan akan pendidikan di Panaragan dan sekitarnya. Lalu Zakaria dan iparnya yakni Ali Ridho berinisiatif membangun sebuah sekolah berbasis agama.
Singkat cerita lahirlah Sekolah islamwathon Panaragan pada tahun 1928 yang bermula dari sebuah perkumpulan para kaum muda dan mudi untuk belajar mengaji, serta ilmu pengetahuan lainnya, khususnya Bahasa Arab dan Bahasa Belanda serta Jepang.
Mengingat pentingnya pendidikan dan melihat perkembangan Islamwathon semakin pesat, banyak warga bersimpati dan menyumbang untuk kelangsungan sekolah ini. Ada yang memberi uang, bahkan ada yang menghibahkan tanah.

Hasil dari sebuah penelusuran jejak sejarah ditemukan sebuah dokumen catatan sumbangan warga kepada Islamwathon berupa catatan wakaf tanah dan uang seperti dokumen wakaf tanah milik Tuan Pujian , wakaf tanah milik Sumatro, wakaf tanah milik Hi. Sufian, serta beberapa mata uang Golden (mata uang belanda) hasil sumbangan warga mulai dari warga Panaragan, Pagar dewa, Waykanan, Bandardewa dan warga lainnya.
Sayangnya, perjalanan Islamwathon tak selalu mulus. Penjajahan Belanda dan Jepang pernah menutup paksa sekolah ini dengan dalih merusak stabilitas pemerintahan mereka saat itu.
Namun berkat pendekatan Tuan Pujian saat itu sebagai kepala marga (kepala desa) dan kawan-kawan meyakinkan bahwa Islamwathon adalah sebuah tempat mengaji agama Islam bukan sekolah. Maka pada akhirnya Islamwathon dibuka kembali sebagai Perhimpunan Islamwathon Panaragan.
Banyak murid di Islamwathon belajar ilmu pengetahun secara diam-diam. Bukan hanya pandai mengaji, bahkan yang tidak tahu membaca, menulis, bahkan berhitung saat itu menjadi pandai bahkan lancar berbahasa asing, khususnya Bahasa Arab, Belanda serta Jepang.
Beberapa dokumen ditemukan sebagai jejak berdirinya Islamwathon, yakni salah satu ijazah yang masih utuh tersimpan oleh keluarga milik Muhammad Ali Arifin bin Hi. Fathul Arifin tahun 1936 atau 1358 Hijriah.
Ditemukan juga beberapa mata pelajaran yang tercantum di ijazah saat akhir masa pendidikan di Islamwathon alumni pertama tahun 1936 yang bertuliskan Bahasa Arab.
Pelajarannya meliputi hadits dari kitab Riyadis Solihin, Usul Hadits, Nahwu, Bahasa, Tafsir, Sorof atau Tata Bahasa, Insak, Tauhid hingga Riyadoh (ekstrakurikuler).
Sementara itu, Zainuri yang juga alumni Islamwathon menyebutkan bahwa Islamwathon saat itu adalah salah satu sekolah pilihan masyarakat selain Sekolah Rakyat bentukan jepang dan HBS.
Banyak murid dari seluruh penjuru bersekolah di Islamwathon. Walau pada saat itu juga ada sekolah rakyat atau dikenal dengan istilah SR. Namun Islamwathon tetap menjadi pilihan orangtua menyekolahkan anaknya.
“Saya rindu masa-masa di Islamwathon. Sekolah itu mengajarkan kami banyak hal tentang disiplin, tentang agama islam, ilmu pengetahuan bahkan bahasa asing. Saya adalah alumni lulusan tahun 1974. Saat itu banyak sahabat saya dari berbagai daerah ada yang dari Waykanan, Menggala bahkan paling jauh dari Pulau Jawa, khususnya Banten,� katanya.
Kemunduran Islamwathon
Islamwathon terus maju dan berkembang. Bahkan memiliki 14 cabang di berbagai daerah, termasuk Sumatera bagian Selatan.
Kemunduran sekolah ini dimulai dari kepergian Hi. Zakaria pada tahun 1950. Ia memutuskan pergi merantau ke Telukbetung (saat ini Bandar Lampung) untuk berdagang. Dan menyerahkan tampuk pendidikan pada generasi penerusnya.
(Khusus untuk KH Zakaria, pada tahun 1965 ia bergabung di sebuah Yayasan Kesejahteraan Islam Lampung (YKIL) dan mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang kini dikenal sebagai Universitas Islam Negeri Lampung (UIN) Radin Intan).
Hidupkan Lagi Islamwathon
Sadar akan nilai histori dan sejarah Islamwathon di Tubaba, kini sejumlah pemuda di Panaragan berencana menghidupkan kembali sekolah ini.
�Islamwathon perlu didukung dari segala unsur, baik pemerintah, swasta dan masyarakat untuk keberlangsungan keberadaan Islamwathon seperti tenaga pendidik yang profesional, sarana dan prasarana penunjang, gaji untuk kesejahteraan para pendidik,” kata Jazuli SE, salah satu penggagas berdirinya lagi Islamwathon di Tubaba.
�Melihat Islamwathon memiliki nilai sejarah yang tinggi di kancah pendidikan maka saya merasa terpanggil untuk meneruskan kejayaan kembali Islamwathon, kini saya sedang berusaha dan berjuang menghidupkan kembali Islamwathon agar dapat membawa generasi kini menjadi generasi bangsa yang cerdas dan bertaqwa,� katanya.
Bentuknya berupa Taman Pendidikan Quran (TPQ) Islamwathon, Pondok Pesantren (Ponpes) Islamwathon, Madrasah Diniyah Islamwathon dan rencananya tahun yang akan datang akan dibuka PAUDS, SD IT, SMP IT Islamwathon� dan perguruan tinggi sekalipun. (red)