JAKARTA – Adanya musyawarah kubro oleh sesepuh NU, Mustasyar PBNU beserta PW-NU, PCNU dan Bamon di Ponpes Lirboyo, Minggu, 21 Desember 2025 ditanggapi oleh Dr. H. Andi Jamaro Dulung. Ketua PBNU Tahun 1999-2010 mengaku menghormati semua upaya yang dilakukan para masyayikh dalam mencari jalan keluar atas dinamika yang terjadi di tubuh PBNU.
Namun seyogyanya dalam ikhtiar mencari jalan keluar atas dinamika di PBNU termasuk melalui Ishlah perlu dilakukan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan AD/ ART dan Perkum, sebagai pijakan utama aturan organisasi.
“Sementara istilah “Musyawarah Kubro” tak memiliki dasar konstitusional. Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama Pasal 22, forum permusyawaratan yang sah dan diakui secara organisasi hanyalah Muktamar, Muktamar Luar Biasa, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar. Tidak terdapat istilah maupun forum bernama *Musyawarah Kubro”,” tegasnya.
Lalu pada Pasal 27 AD NU hanya mengenal jenis rapat: Rapat Kerja, Rapat Pleno, Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah, serta rapat lain yang dianggap perlu tanpa kewenangan mengambil keputusan setingkat Muktamar. Dengan demikian, hasil Musyawarah Kubro tidak dapat dikategorikan sebagai keputusan permusyawaratan resmi jam’iyyah.
“Tidak Ada Kewenangan Musyawarah Kubro memberi tenggat atau mencabut mandat PBNU. AD/ART NU tidak memberikan kewenangan kepada forum non-konstitusional untuk memberi batas waktu (ultimatum) kepada Rais Aam dan Ketua Umum PBNU maupun mengalihkan atau mencabut mandat Muktamar ke Mustasyar. Mandat PBNU bersumber dari Muktamar dan hanya dapat dievaluasi melalui mekanisme organisasi yang sah,” lanjutnya.
Dipaparkannya Muktamar Luar Biasa (MLB) bukan kewenangan PW-NU atau PC-NU. Berdasarkan Pasal 74 ayat (3) AD NU, Muktamar Luar Biasa dipimpin dan diselenggarakan oleh PBNU bukan oleh PW-NU maupun PC-NU. PWNU dan PCNU tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk mengadakan MLB.
“Penetapan waktu muktamar luar biasa di luar mekanisme resmi seperti Konbes tidak sah dan tidak memiliki legitimasi jam’iyyah. Sebab menjaga keutuhan NU justru perlu dilakukan dengan taat konstitusi. Keutuhan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama tidak dijaga melalui tekanan, ultimatum, atau forum non-konstitusional. Tapi dengan ketaatan pada AD/ART dan memjaga adab khittah jam’iyyah dalam menyikapi perbedaan,” pungkasnya.(rls)




















