BANDARLAMPUNG – Forum Diskusi Lampung, Minggu, 27 Juli 2025, kembali menggelar diskusi terhadap hal-hal yang menjadi persoalan terkini. Terutama terhadap persoalan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung dari sektor perkebunan. Seperti pro-kontra adanya desakan ukur ulang lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sugar Group Companies dan lain-lain.
Pada diskusi pertama ada beberapa tokoh yang hadir. Diantaranya Dr. H. Edy Irawan Arief, S.E.,Mec, Asrian Hendi Caya, SE.,M.E., Dr. Ahmad Farich., M.M., Darmawan Purba, S.IP.,M.IP., H. Imer Darius, S.E., dan H. Wirahadikusuma, S.P..
Sementara dalam diskusi kedua yang digelar Minggu, 27 Juli 2025 kemarin, hadir Dr. H. Edy Irawan Arief, S.E., Mec, Asrian Hendi Caya, SE.,M.E., Darmawan Purba S.IP.,M.IP, H. Umar Ahmad, S.P., dan beberapa elemen masyarakat.
Dalam releas yang disampaikan anggota DPRD Kota Bandarlampung, H. Agusman Arief, S.E., M.M., dari diskusi ini ada beberapa pendapat dan argumentasi yang berkembang, yang menjadi catatan.
Pertama, Pemerintah Pusat dan daerah harus aktif menciptakan suasana dialogis di masyarakat. Termasuk DPRD dapat mengundang masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dan berbagai macam tuntutan masyarakat. Sedangkan Gubernur dapat memanggil memanggil pihak perusahaan. Selanjutnya hasil dialog dengan masyarakat dan pihak perusahaan hasilnya diinventarisir dan dikompilasi untuk dicarikan solusi bersama. Tanpa saling menyalahkan antara kelompok masyarakat dan pihak perusahaan, tetapi bagaimana menciptakan mekanisme dialog yang membangun.
Kedua, Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah dan DPRD dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seluruh Perusahaan besar di Lampung, termasuk PT. SGC salah satunya perlu dijaga menimbang adanya kontribusi yang besar. Namun saat yang sama harus dilakukan evaluasi tata kelola perkebunan dan disertai pembinaan, agar perusahaan tetap taat aturan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Ketiga, DPR dan DPRD sebagai pelembagaan politik perlu merespon secara cepat Langkah-langkah penyelesaain isu ekonomi ini karena luas dampaknya. Seluruh elemen masyarakat diperlukan termasuk perusahaan besar yang juga merupakan bagian dari masyarakat. Karyawan PT. SGC bagian dari rakyat juga. Jangan sampai kita memandang dunia usaha sebagai pihak luar yang harus “dilawan”. Harus ada keterbukaan informasi. Kominfo dan Komisi Informasi Daerah perlu diaktifkan agar masyarakat tidak hanya menerima informasi sepihak.
Keempat, pihak perusahaan atau dunia usaha harus dijauhkan dari praktik politik praktis yang selama ini justru menyimpangkan dan melemahkan kinerja perusahaan. Ke depan dunia usaha harus jaga jarak urusan politik praktis. Perusahaan lebih baik memberikan dukungan formal berupa dukungan program pembangunan Provinsi Lampung dan Kabupaten/Kota terlepas siapapun kepala daerahnya.
Kelima, ada empat fungsi penting pemerintahan daerah yang dapat diterapkan dalam menjaga agar Perusahaan dan dunia usaha yang memanfaatkan lahan dalam jumlah luas memiliki tanggung jawab yang tinggi, yaitu:
(1) Sebagai Regulator: Pemerintah harus melakukan penataan dunia usaha, evaluasi perizinan, dan memastikan semuanya sesuai aturan;
(2) Fasilitator: Pemerintah harus membantu mempertemukan kepentingan masyarakat dan dunia usaha;
(3) Katalisator: Pemerintah harus mendorong agar masyarakat dan pelaku usaha bisa saling mendukung dan berinteraksi secara positif;
(4) Dinamisator: Pemerintah harus aktif membangun partisipasi masyarakat dan mendorong dunia usaha agar kontribusinya lebih nyata dan terukur.
Kemudian Keenam, pemanfaatan CRS Perusahaan harus jelas dan transparan. Lebih baik lagi apabila CSR perusahan berfungsi dalam memperkuat pendapatan daerah hingga desa. Sehingga CSR bisa diukur pemanfaatannya bagi masyarakat luas, bukan kelompok-kelompok tertentu saja.
Terus ketujuh, Pemerintah daerah diharapkan menjadi orkestrator yang dapat mengatur ritme dan sinkronisasi antara dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah itu sendiri. Gubernur dan DPRD diharapkan dapat memediasi, menata, dan mengomunikasikan isu perkebunan secara sehat. Dunia usaha perlu dijaga tetapi juga dievaluasi dan dibina. Masyarakat perlu dilibatkan tetapi tidak dipolitisasi, serta semua pihak harus berangkat dari komitmen membangun Lampung yang lebih baik ke depan.
Kedelapan, sehubungan sorotan masyarakat sipil terkait persoalan legalitas lahan dan tuntutan evaluasi tata Kelola perkebunan di Lampung yang menjadi perhatian serius serta sudah menjadi isu nasional. Dimana DPR RI bahkan sudah memanggil Menteri ATR/BPN untuk meminta klarifikasi, maka kita di daerah daerah, baik Pemerintah Daerah dan DPRD perlu bersiap-siap dalam menghadapi hasil evaluasi dari pusat.
Selanjutnya, kesembilan, Kepada Menteri ATR/BPN agar segera melakukan evaluasi terhadap seluruh HGU di Lampung, apakah pemanfaatan lahan dan luasannya sesuai dengan izin atau justru ada kelebihan. Apakah ada lahan yang digunakan tetapi belum memiliki dasar hukum yang jelas. Jika memang ada kejanggalan, kita harus berani menyampaikannya secara tegas, termasuk kepada perusahaan seperti PT. SGC.
Kesepuluh, jika terdapat penggunaan lahan yang belum memiliki sertifikat atau belum masuk dalam HGU yang sah, maka itu harus segera diselesaikan sesuai peraturan. Sekalipun terhadap perusahaan besar harus ada tindakan yang tegas. Di sisi lain, kita juga harus menghormati ketentuan hukum yang berlaku, baik dari kementerian maupun peraturan ditingkat daerah. Apabila hasil kajian dan evaluasi ternyata telah sesuai lahan yang dimiliki, kitapun harus dengan berani menyatakan dan mematuhi produk hukum yang sudah dikeluarkan pemerintah.
Ke sebelas, perlu ditegaskan di masa yang akan datang bahwa segala bentuk kontribusi perusahaan terhadap daerah—baik berupa pajak, retribusi, maupun CSR harus dikomunikasikan secara terbuka kepada publik. Untuk itu, perlu dilihat lebih detail bagaimana posisi perda-perda di Lampung terkait pengaturan pajak daerah. Apakah SGC sudah membayar pajak sesuai ketentuan? Apabila belum menunaikan kewajibannya kita minta segera diselesaikan. Pemda dapat melakukan penagihan sesuai dengan jumlah yang harus dibayarkan oleh pihak perusahaan;
Ke-duabelas, penting bagi masyarakat untuk mengetahui bahwa perusahaan memiliki kewajiban CSR dan berbagai kontribusi langsung ke masyarakat harus dilaksanakan. Tidak boleh ada kesimpang siuran dalam penyalurannya dan harus ada transparansi. CSR yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan dari total keuntungan perusahaan dan harus dikeluarkan dan dilaporkan secara terbuka kepada masyarakat.
Ketigabelas, Mendorong agar DPRD berperan dalam mengawasi dan memberi penjelasan kepada publik, perusahaan tidak boleh alergi terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. Terlebih untuk urusan masyarakat banyak perusahaan harus responsif dan peduli terhadap usulan dan aspirasi masyarakat, seperti masyarakat meminta bantuan perbaikan akses jalan, air bersih, Kesehatan, atau pengembangan UMKM. Hal ini dapat dijadikan program CSR, namun harus berbasis data dan aspirasi riil, bukan sekadar simbolik.
Dan keempat belas, Segala langkah dan proses yang ditempuh oleh pemerintah sebagai regulator harus dihormati. Pemerintah harus tegas dalam melakukan evaluasi kebijakan sektor perkebunan. Untuk itu semua perlu saling bekerjasama dan menjaga kondusifitas di Provinsi Lampung.(rls)