Oleh : Dr As’ad, S.Ag., S.Hum., M.H., C.Me *)

Gutta cavat lapidem non vi, sed saepe cadendo; sic homo fit sapiens bis non, sed saepe legendo.

(Batu berlubang bukan karena kekuatan yang dahsyat, tetapi akibat tetesan air yang berulang kali menerpa. Begitu pun manusia menjadi bijak bukan karena satu dua kali, tetapi karena seringkali ditempa.)

Saya sudah berusaha browsing di berbagai search engine. Tapi sampai tulisan ini dibuat, belum juga ditemukan informasi yang tepat terkait sumber dari pepatah latin di atas. Sebuah narasi klasik yang mensiratkan tentang proses panjang yg diperlukan untuk menuju kesempurnaan. Tapi it’s ok. Tulisan ini memang bukan dimaksudkan untuk mencari sumber atau asal muasal quote di atas, melainkan justru ingin menganalisanya dalam konteks current problem solving.

Empat (4)  tahun yang lalu, saya menulis sebuah artikel di media ini (BE1 Lampung) dengan judul “Ahlan Wa Sahlan Rektor Baru”. Tulisan itu dibuat dalam konteks suksesi Rektor IAIN Metro periode 2021-2025. Saat itu,  saya mengulas tantangan IAIN Metro di era pandemi.   Di mana dampak buruk yang timbul akibat wabah covid 19 senyatanya telah merambah ke seluruh aspek kehidupan tak terkecuali sektor pendidikan.   Pola pembelajaran konvensional tatap muka misalnya –untuk sekedar menyebutkan salah satu contoh– menjadi tidak relevan untuk diterapkan, tetapi (pada saat itu) kultur dan behaviour seluruh stakeholder kependidikan belum sepenuhnya support. Belum lagi kendala  SDM, sarana prasarana  dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Alhamdulillah kita mampu melampaui era Pandemi dengan survive.

Ada banyak progres dan capaian positif yang dihasilkan dalam masa kepemimpinan Prof. Dr. Siti Nurjanah, M.Ag, PIA. Tapi  meskipun demikian,  masih terdapat  kekurangan di sana sini. Inilah yang menjadi challenge kita hari ini.

Kembali ke laptop. Jika saat itu, tantangan yang kita hadapi adalah pandemi, maka hari ini kita  mengalami  tantangan yang tidak kalah rumit, yaitu adanya program efisiensi. Di saat kita ingin memastikan seluruh renstra berjalan on target and schedule, pada saat bersamaan kita dihadapkan pada realita pengetatan anggaran. Ada adagium terkenal “Uang bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya perlu uang. Kebijakan efisiensi yang berlaku nasional dan  merambah seluruh instansi ini mau tidak mau menimbulkan turbulensi.

Di sinilah IAIN Metro perlu melakukan manuver bahkan akrobatik. Membangun sinergisme, komunikasi dan kerjasama yang lebih solid  dengan mitra-mitra strategis di luar kampus seperti Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota (utamanya Kota Metro dan Kabupaten Lampung Timur), BUMN/BUMD, perusahaan swasta nasional/multinasional, UMKM dan lain sebagainya.

Melalui skema dana hibah daerah atau Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai contoh–, diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi kebuntuan pendanaan APBN/SBSN  sebagai imbas efisiensi tadi. Juga tak kalah penting mengoptimalkan pemberdayaan (empowerment) peran alumni yang sudah tersebar di mana-mana yang memiliki potensi besar sebagai entry point menuju pengembangan networking ekonomi sosial kampus.

Komunikasi dan kolaborasi yang efektif dengan mitra strategis itu diharapkan akan melahirkan partisipasi aktif dan public supporting yang memudahkan realisasi konsep link and macht perguruan tinggi.

Lalu tantangan yang tidak kalah penting untuk dituntaskan –sekali lagi menurut pendapat saya— adalah :  IAIN Metro dalam beberapa waktu terakhir mengalami situasi yang tidak “terlalu baik”, dalam hal ini menurunnya animo dan jumlah pendaftar  mahasiswa baru setiap tahunnya. Sesuatu yang menurut saya tidak boleh dibiarkan dan harus ada langkah-langkah ekstraordinary dan taktis. Di era digital dan media sosial ini, panggung publikasi harus mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mempromosikan dan membawa eksistensi IAIN Metro melejit sehingga mampu berdiri sejajar dengan perguruan tinggi ternama di provinsi Lampung bahkan nasional. Sudah waktunya –untuk tidak menyebutnya terlambat– melebarkan kiprah kampus kita dari stereotif kampus ‘daerah’ atau lokal menjadi lebih luas jangkauannya. Dengan contoh yang sederhana, kita tidak perlu malu belajar dari kampus Ittera –misalnya– yang baru ‘seumur jagung” tapi kini sudah mampu bersaing dengan kampus-kampus ternama lainnya di negeri ini.

Tantangan berikutnya –masih menurut subjektivitas pandangan saya—adalah persoalan relasi dan kohesi sosial di antara warga kampus. Hubungan kekeluargaan  yang harmonis antar sivitas akademika mengalami sedikit kemunduran. Paling tidak jika dibandingkan dengan suasana  atau atmosfir yang saya rasakan di awal-awal menjadi PNS pada  masa kepemimpinan Prof. Bahri Ghozali maupun Pak Hadi Rahmat. Kurangnya jalinan rasa saling asih, asah dan asuh antara senior dan junior. Menurunnya budaya salam dan salim. Serta meningkatnya sikap acuh tak acuh.

Dalam spektrum lebih luas dan jangka panjang, hal tersebut di atas bisa  mengakibatkan berkurangnya  rasa memiliki (self of belonging) dan rasa tanggungjawab (self of responsibility)  di satu sisi, sementara makin menguatnya sikap pragmatisme dan apatisme pada sisi lainnya. Inilah PK (Pekerjaan Kampus)  yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) yang harus kita selesaikan.

Saya yakin dan percaya di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Ida Umami, M.Pd.Kons. sebagai Rektor  IAIN Metro periode 2025-2029 performa IAIN Metro ke depan bisa berkembang ke arah yang lebih positif dan produktif.  Untuk itu saya mengajak kita semua mendukung sepenuhnya orkestrasi yang nantinya  akan dipimpin langsung Bu Rektor sebagai Dirigen.  Karena bagaimanapun kontestasi dan dinamika pemilihan Rektor sudah selesai. Setiap orang ada masanya. Setiap masa ada orangnya. Saatnya bersama-bersama berbuat yang terbaik untuk lembaga kita tercinta.

Di akhir tulisan ini saya ingin mengugah kita semua, bahwa apapun problemnya, apapun tantangannya,  kampus ini adalah milik kita bersama. So that,  baik buruknya juga tergantung kita . Meminjam istilah SBY –Presiden RI ke 6– Bersama kita bisa. Kalau bukan kita siapa lagi. Kalau bukan sekarang kapan lagi?

*) penulis adalah Kepala Perpustakaan IAIN Metro