Antara Cemas dan Senang di Pra Porwanas Jogjakarta 2021
Oleh SAFWANTO
IKUT serta dalam rombongan kontingen Lampung di Pra Porwanas 2021 yang dihelat di Jogjakarta sejujurnya membuat saya cemas tapi juga senang.
Cemas karena keberangkatan kontingen diwarnai suasana �panas� perebutan kursi Ketua PWI Lampung. Senang, karena fasilitas yang disiapkan panitia cukup memuaskan atlet. Setidaknya jika dibandingkan dengan yang dulu-dulu.
Kontingen PWI Lampung berangkat ke Jogjakarta tanggal 10 Juli 2021. Tapi belum lagi berangkat, Ketua PWI Lampung Supriyadi Alfian sudah terlihat marah-marah. Bahkan kata �ketelek� sempat keluar dari mulutnya.
Saya tidak ingin membahas pangkal sebab yang membuat beliau mencak-mencak. Saya rasa, seluruh peserta kontingan dan juga pembaca sedikit banyak tau apa pemicunya.
Tapi kemarahan Bang Yadi -demikian saya memanggilnya, diakui atau tidak membuat suasana jadi sedikit tegang. Dan ketegangan ini� �ngembet� hingga rombongan tiba di Jogja. Saya jelas merasakan kekakuan di tubuh kontingen, khususnya pada beberapa calon ketua PWI yang juga ikut berangkat mengawal rombongan.
Saya juga sedikit merasakan efek dari ketegangan tersebut. Bayangkan, beberapa wartawan yang biasanya ngobrol, kok mendadak jadi seperti �singut�� tak lagi berkawan. Jangan lagi senyum, menegur pun tidak.
Saya kok merasa seperti dianggap musuh. Padahal, saya sendiri belum memutuskan akan mendukung siapa pada Konferprov Desember 2021 nanti, mengingat semua calon adalah teman-teman saya. Ada yang senior, ada yang seperjuangan �nyari berita� di lapangan, ada juga yang junior. Semuanya orang-orang baik. Dan saya yakin semua punya tekad yang sama untuk membesarkan marwah PWI Lampung.
Terlepas dari �panasnya� suasana, di sisi lain saya cukup terkesan dengan �perlakuan panitia untuk kontingen di Pra Porwanas Jokjakarta ini, khususnya pada atlet.
Kami memang tidak naik pesawat. Tapi perjalanan kurang lebih 20 jam Lampung-Jogjakarta cukup nyaman dengan bus. Saya tidak tau bagaimana kondisi di bus sebelah (ada dua bus yang berangkat,Red), tapi di bus kami, yang isinya (wartawan) atlet, cukup kondusif.
Sepanjang perjalanan kami semua bisa bernyanyi (karaoke). Walau ada yang suaranya bikin sulit tidur, tapi beberapa juga ternyata diam-diam punya suara yang cukup enak didengar.
Kami juga disempatkan mampir ke Candi Borobudur. Walau kemudian hanya sebatas di parkiran karena kami kepagian tiba di sana.
Tiba di Hotel, kami juga cukup nyaman. Tjokro Style merupakan hotel bintang dan cukup ternama. Dan atlet cukup senang ditempatkan sekamar berdua. Bisa mandi air panas, dan ruangan dingin.
Saya tidak tahu bagaimana kondisi saat Porwanas Kalimantan Timur tahun 2013 dan Porwanas Jawa Barat tahun 2016. Saat itu tidak saya bisa pergi karena terganjal kewajiban pekerjaan di kantor. Yang saya ingat, di Porwanas Palembang tahun 2010, kami ditempatkan 4 orang sekamar di Wisma Haji. Panas pula.
Saya tidak ingin menohok siapapun. Tidak juga ingin memberi pujian yang berlebihan. Tapi di Pra Porwanas tahun ini saya hampir tak mendengar keluhan para atlet. Ya kecuali ukuran jatah sepatu yang beberapa mengaku kesempitan.
Pada intinya, sudah seharusnya memberi perlakuan secara layak kepada atlet. Meski tak selalu menang, mereka sudah berjuang sekuat tenaga untuk mengharumkan nama Lampung, khususnya PWI.
Mereka, para atlet ini, mengorbankan segalanya. Pasang badan untuk menang. Ada yang �kencot-kencot� karena �dibabat� lawan, ada yang cidera karena jatuh kepleset saat latihan. Bahkan, ada juga yang sampai masuk perawatan (opname,Red) sepulangnya dari Jogjakarta.
So, siapapun nanti yang jadi ketua PWI, saya dan (mungkin juga yang lain) tentu berharap ketua yang baru tetap mengedepankan kebutuhan dan kenyamanan atlet ketimbang keuntungan pribadi di perhelatan Porwanas tahun-tahun mendatang. Sebab, jika kami juara, tentu Anda juga yang memperoleh nama baik.
Wassalam
(*)