NAMANYA Fauzi Murni. Tubuhnya besar, suaranya menggelegar. Dia salahsatu dari sedikit sahabat yang sangat saya cintai. Perkenalan kami berawal saat sama-sama dilantik sebagai anggota DPRD Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubabar) tahun 2010 lalu.
Menariknya persahabatan kami dimulai dari bermusuhan. Nyaris baku hantam. Bermula dari pemilihan alat kelengkapan dewan di tempat kami mengabdi. Sebagai warga “asli” (karena kebetulan saya ber-KTP Bandarlampung dan baru masuk di wilayah Tubabar), sang sahabat merasa dapat mudah menduduki jabatan karena berkoalisi dengan anggota dewan fraksi lain.
Dengan penuh percaya diri, dia sangat yakin memenangkan pertarungan dan menyapu bersih seluruh jabatan yang diperebutkan. Ini lantaran didukung fraksi terbesar saat itu serta anggota fraksi lain yang secara historis memiliki kedekatan pribadi karena dapat dikatakan “satu kampung” dan merupakan teman bermain mulai dari anak-anak.
Permainan pun dimulai. Saat itu, saya mempunyai “kewajiban” menjadikan teman satu fraksi guna menandingi kekuatan koalisi sang sahabat. Bahkan saya dengar ada “sponsor” yang siap mengalirkan dana bagi setiap anggota yang masuk “genk” nya.
Ini berbeda dengan “jago” saya. Dia hanya tampak “pasrah” dan “serah badan”. Mau terpilih boleh, tidak terpilih juga tidak apa-apa. Dan secara logika angka, jelas kami harus menyerah.
Tapi saya tidak mundur. Ego saya muncul. Meski anggota fraksi kami hanya berdua karena yang satu lagi belum dilantik lantaran ada persoalan “administrasi”, saya tidak mau angkat “bendera putih”.
Segala kepiawaian diplomasi, tutur-kata serta bermain “tangan besi” harus saya pakai. Tentunya tidak “money politik” karena memang “jago” saya keadaan “kosong”.
Hasilnya diluar dugaannya. Seluruh paket “jagonya” kalah. Hanya dua yang saya sisakan, Itupun sebagai penghormatan sebagai anggota senior. Sang sahabat bersama “kroninya” pun “mengamuk”. Wajahnya merah padam. Napasnya memburu. Hampir-hampir dia membalikkan meja sehingga tidak ada satupun staf atau rekan yang berani mendekat.
Selanjutnya hampir dua minggu kami tidak bertutur-sapa. Saya baru berani menegur dan sekedar bertanya tentang kabarnya saat sama-sama dalam perjalanan keluar kota tugas studi banding.
“Saya tidak marah dengan Pak Haji (yang langsung saya aminin, karena saya belum pernah berhaji), itu memang sudah kewajibanmu memenangkan teman satu fraksi. Yang saya sesali teganya teman dekat yang sudah bermain sejak kecil, ada hubungan keluarga, bahkan pernah makan sepiring hingga tidur satu kasur tapi berkhianat tidak mendukung memilih saya,” jelasnya.
Selanjutnya sejak saat itu justru dia yang malah menjadi sahabat saya. Dia berani “pasang badan” terhadap setiap kebijakan yang saya ambil. Sangking dekatnya dia beberapa kali tidur seranjang dengan saya pas lagi kegiatan di luar kota. Saya sangat terbuka. Apapun saya ceritakan tentang apa yang disebut “mencuri” dan apa yang disebut “kehilangan kendali”. Bahkan pernah pula beberapa kali dia saya ajak untuk “mencuri” dan “kehilangan kendali” bersama. Bahkan hingga jabatan kami berakhir, beberapa kali dia bermain kerumah saya disaat dia sedang ada keperluan di Bandarlampung.
Kenyataan ini malah berbeda dengan teman yang saya “menangkan” untuk mengalahkannya. Kami nyaris tidak pernah bertemu. Dari informasi yang saya dapatkan, beberapa kali saya sebenarnya dikhianati. Meskipun hingga kini saya selalu berpikir informasi itu tidak benar dan hanya ditujukan memecah belah pertemanan kami.
Sekarang sahabat saya ini telah tiada. Dia wafat ketika saya sedang “sibuk-sibuknya”. Yakni tepat dihari “launchingnya” surat kabar ini. Padahal beberapa hari sebelumnya saya telah mengundangnya hadir dan saya siapkan “kursi terhormat” guna duduk disamping saya.
“Selamat jalan Om Fauzi, semoga doa saya khusus yang ini dapat dikabulkan Allah SWT. Semoga Om diterima semua amal ibadah, diampuni segala dosa, dan ditempatkan ditempat yang layak disisi-NYA”.. Amiennn…(wassalam)