Pro-kontra terjadi menyikapi putusan prapradilan Pengadilan Negeri(PN) Jakarta Selatan yang menerima sebagian gugatan yang diajukan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Setya Novanto (Setnov). Bagi yang pro, mereka merayakan kemenangan dengan menyebut bahwa Setnov tidak pantas dijadikan tersangka oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.

Berbeda dengan kontra. Mereka beranggapan bahwa digugurkan oleh putusan prapradilan adalah prosedur penetapan Setnov sebagai tersangka. Bukan kesalahannya. Karenanya KPK bisa segera menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru.

Terlepas dari itu semua, apapun keputusan PN Jakarta Selatan ini mengikat semua pihak. Putusan ini harus dihormati dan ditaati. Lalu selanjutnya bisa menjadi pelajaran dan bahan evaluasi bagi KPK untuk lebih hati-hati dan melakukan kajian serta telaah secara mendalam saat menetapkan seseorang menjadi tersangka. Jangan sampai ada lagi sedikit pun celah bagi pihak yang tersangkut perkara untuk melakukan bantahan.

Sebab jika kajian dan telaah secara mendalam telah dilakukan, evaluasi sudah diterapkan, bisa saja dilain waktu KPK memutuskan menetapkan kembali Setnov sebagai tersangka. Sebab bagaimanapun KPK harus tetap berkomitmen menangani kasus e-KTP yang sangat merugikan keuangan negara. Dimana banyak pihak yang diduga terlibat dan telah menikmati indikasi aliran dana dari proyek e-KTP. Tentu tidak adil jika dibiarkan bebas tanpa pertanggungjawaban secara hukum, termasuk Setnov tentunya.

Selain itu penetapan kembali tersangka yang telah dibatalkan di sidang prapradilan oleh KPK sebenarnya bukan barang baru. Seperti dalam kasus tindak pidana korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin.

Sebelumnya Ilham, permohonan praperadilan pernah dikabulkan pengadilan. Dimana hakim menyatakan penetapan tersangka terhadap Ilham di kasus dugaan korupsi kerjasama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi PDAM Makassar tahun 2006-2012 tidak sah. Atas putusan ini, KPK kemudin menerbitkan sprindik baru terhadap Ilham Arief Sirajuddin.

Dengan demikian kebijakan yang sama bisa diterapkan kepada Setnov. Apalagi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak membatasi penyidik menerbitkan sprindik lagi sebatas memenuhi syarat minimal alat bukti. Dan ini diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Isinya menjelaskan perlindungan terhadap hak tersangka tidak diartikan tersangka tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana.(wassalam)