PEMILIHAN Rektor (Pilrek) Universitas Lampung (Unila), sebentar lagi dihelat. Ada 8 nama bakal calon yang mendaftar. Termasuk satu diantaranya Prof. Dr. dr. Asep Sukohar, S.Ked., M.Kes. Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Unila yang bolak-balik dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut, mengaku terdorong maju Pilrek Unila lantaran mendapat dukungan kuat dari para senator dan tokoh masyarakat. Entah senator dan tokoh masyarakat yang mana. Sayang beliau tidak menyebutkan.
Tentu tidak ada yang �salah� dengan keberanian majunya sang Guru Besar Asep Sukohar sebagai calon Rektor Unila periode 2023-2027. Tidak ada �peraturan� yang beliau langgar hingga �saat ini�.
Terbukti tidak adanya penetapan tersangka terhadap dirinya oleh penyidik KPK. Meski yang bersangkutan diduga sangat mengetahui tentang alur suap mahasiswa Unila oleh tersangka Eks Rektor Unila, Prof Karomani. Malah yang membuat miris, Asep Sukohar mengaku menerima uang Rp750 juta dari orangtua tiga mahasiswa untuk masuk ke Unila baik jalur mandiri maupun Jalur SBMPTN.
Dari Rp750juta itu sebanyak Rp600 juta menurut pengakuannya diserahkan ke Karomani melalui Kabiro Perencanaan dan Humas Unila, Budi Sutomo. Sementara Rp100 juta diakui diambilnya sebagai uang pengganti biaya kebutuhan Muktamar NU di Lampung pada 2021 yang lalu. Dimana Asep Sukohar menjadi panitia penyelenggara Muktamar.
Namun demikian, kita masih percaya para anggota senat yang nantinya memiliki hak suara untuk memilih calon Rektor Unila dapat berpikir �sehat� jasmani dan rohani.
Maksudnya para anggota senat Unila dituntut tidak hanya melihat calon rektor itu bisa maju hanya sebatas karena diperbolehkan hukum dalam hal ini �undang-undang�. Tapi para anggota senat Unila yang terhormat dapat lebih memaknai dan mengedepankan hukum sebagai nilai, asas dan norma. Yakni etika berada pada tataran norma dan asas. Posisi etika jauh di atas hukum. Dimana menurut Heryansyah, seorang peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta) dalam tulisannya yang diterbitkan pada harian Kompas, 27 Februari 2018, menyinggung bahwa pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum (baca: undang-undang).
Pertanyaannya, apakah mengaku menerima uang Rp750 juta dari orangtua tiga mahasiswa untuk masuk ke Unila baik jalur mandiri maupun Jalur SBMPTN bisa dikatakan tidak melanggar etika ?
Saya rasa, tidak harus menjadi anggota Senat Unila untuk bisa menjawab pertanyaan ini. Sehingga slogan �Unila Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat, tidak hanya sekedar slogan.
Cukuplah Unila �tertampar� sekali, dengan adanya kasus tertangkapnya sang Rektor Prof. Dr. Karomani. Mohon rasa malu yang ada dan belum sirna akibat kasus tersebut hingga kini, justru jangan ditambah lagi. Wassalam. (bukhori muzzammil)