DIANTARA sekian banyak partai, dinamika di Partai Golkar Lampung lah yang bisa dikatakan paling menyedot dan menarik perhatian publik. Ini seiring dengan adanya beberapa kader internal yang berkeinginan untuk diusung partai berlambang pohon beringin tersebut dalam rangka mengikuti pergelaran pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2018 mendatang. Sebut saja, M. Alzier Dianias Thabranie (Ketua Dewan Pertimbangan DPD Partai Golkar Lampung. Lalu, Arinal Djunaidi yang kini menahkodai DPD Partai Golkar Lampung. Kemudian Azis Syamsudin (anggota DPR RI Dapil Lampung). Terakhir Riswan Tony (mantan anggota DPR RI).
Karenanya wajar ketika dinamika yang ada sedikit “memanas”. Pasalnya dengan kiprah mereka selama ini, tentunya kader-kader sekelas Alzier, Arinal, Azis, serta Riswantony mempunyai pengikut-pengikut yang loyal dan fanatik. Para pengikut ini akan saling melancarkan “perang opini” untuk mendapat simpati dengan tujuan agar “jagoannya” dapat lolos dan diusung DPP Partai Golkar.
Saya tidak ingin menyebutnya “konflik”. Karena sesuai arti yang saya pahami konflik adalah kata kerja yang bermakna saling memukul. Atau secara sosiologis dimaknai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salahsatu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Karenanya saya ingin memakai kata “dinamika” di tubuh Partai Golkar. Dimana berarti adanya gerakan yang penuh semangat dalam melaksanakan sesuatu. Tentunya dengan harapan yang lebih baik.
Untuk itu dalam melihat adanya proses “Perang Opini” tadi, sudah seharusnya para elit-elit Partai Golkar menyimak dan mengakaji dari sudut pandang penuh kedewasaan dan kearifan. Tidak boleh karena adu kuat-kuatan. Mekanisme, aturan, petunjuk pelaksanaan atau apapun sebutannya di internal Partai Golkar lah yang harus menjadi pedoman.
Sebab bila yang dikedepankan mekanisme, aturan dan petunjuk pelaksanaan tadi, maka dapat dipastikan nantinya pihak yang “kalah” tidak merasa kalah. Dia akan secara “jantan” mengakui bahwa kali bukan kesempatan dirinya untuk maju. Namun ada calon lain yang lebih mumpuni dan lebih layak untuk didukung. Dan bisa ditebak proses “kasih sayang” dan aksi solidaritas, jiwa KORSA akan muncul disana. Semua kader Golkar akan bersatu dan bahu membahu, bergotong royong untuk mendukung calon yang telah ditetapkan.
Namun sebaliknya. Jika proses adu kuat yang ditonjolkan. Bila teknik culas yang dipakai. Dan jiwa takut kalah dan tidak ksatria yang dikedepankan, maka hasilnya bisa dirasakan. Dia akan menimbulkan rasa tidak puas di para kompetitor yang tersingkir lantaran merasa “dikadali”, “diakali” atau “dicurangi”.
Kabar buruknya, rasa tidak puas ini bisa meningkat lagi menjadi rasa sakit. Rasa sakit ini bisa meningkat lagi menjadi rasa dendam. Dan rasa dendam ini bisa naik kelas menjadi rasa untuk “mematikan”.
Dan akibatnya pun bisa lebih luas lagi. Calon-calon dari Partai Golkar hanya sibuk dengan ribut internal. Saling “menghabisi” antara satu dengan yang lain. Dan yang menang bisa ditebak. Partai-partai lain yang bersorak dan bertepuk tangan. Semoga ini tidak terjadi.(wassalam)