BEBERAPA hari ini di grup media sosial (medsos) yang saya ikuti aktif membahas momentum Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung. Aksi dukung mendukung terlihat. Intinya menegaskan pasangan calon (paslon) yang dijagokan merupakan sosok terbaik dan paling benar.
Baik-tidaknya diskusi ini, dapat termonitor dari kalimat yang dipakai saat melontarkan pendapat. Yang bijak, akan dewasa mensikapi fenomena perbedaan pilihan. Sebaliknya yang berpikiran sempit menilai perbedaan itu aib. Cenderung menyalahkan. Akibatnya ada saja setiap hari yang memilih keluar grup dengan berbagai �pertimbangan�.
Padahal tak ada yang salah munculnya �warna-warna� menyikapi pilgub. Siapapun boleh menegaskan dia �orang� Ridho Ficardo-Bachtiar Basri, Herman HN-Sutono, Arinal Djunaidi-Chusnunia atau Mustafa-Jajuli. Empat kontestan yang mengikuti kontestasi Pilgub Lampung, 27 Juni 2018 mendatang.
Alasannya menggunakan hak pilih itu hak privaci. Memakai hak pilih, bukan saja kesempatan memilih orang baik. Namun menghindari terpilihnya orang yang tidak baik. Tentunya dengan �standar dan subjektifitas� masing-masing.
Dengan adanya �warna� memberi kita tempat mengoreksi. Sebab secara umum kita tidak dapat mengukur �standar dan subjektifitas� tersebut. Pasalnya semua paslon �abu-abu�. Kita tidak tahu percis, mana calon yang �sehat� dan calon yang �sakit�.
Kita tidak tahu hasil tes kejiwaan dan psikologi mereka secara mendalam. Kita tidak tahu bila misalnya ada paslon memiliki kecenderungan �mencuri�. Kita juga tidak bisa menebak tingkat emosi dan gaya kepemimpinannya. Apakah cenderung kepribadian emosional, mudah tersinggung, arogan, kasar dan brutal, sadis, sering berbohong atau tidak.
Lembaga penyelenggara pemilu merahasiakan hasil tes kesehatan mereka. Hingga kita juga tidak tahu mana paslon yang memiliki ketenangan dan tidak mudah marah. Memiliki pendirian kuat, namun bersifat fleksibel dan terbuka pandangan orang lain. Serta memiliki ketegasan, tapi mempunyai rasa sensitif dan empati pada orang banyak. Padahal andai dibuka hasil tes kesehatan itu, tentunya saya atau kita semua akan memilih paslon yang sehat �jasmani dan rohani�.
Sekali lagi dengan adanya warna, kita bisa dapat mengukur kadar calon yang diunggulkan. Apakah lebih memiliki kencerungan memperoleh �kebenaran� atau yang dipromosikan bentuk �kebohongan�.
Jadi sebenarnya tidak perlu emosi dan berlebihan mensikapi perbedaan. Hargai �warna-warna� yang ada. Jangan terlarut. Santai aja. Toh sebenarnya pemimpin yang ada sudah ditentukan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Apalagi seperti yang pernah saya tulis sebelumnya bahwa yang bertarung itu bukan saya, dia atau kita. Tapi mereka. Jadi tak perlu terbawa hati untuk berkelahi.
Sepanjang semuanya mengikuti regulasi, siapapun pemenangnya tentu kita hargai. Kecuali yang menang itu pecundang politik. Yang menghalalkan segala cara meraih kemenangan. Seperti menggunakan politik uang, politik umrah, politik ASN dan lain. Yang melakukan kampanye namun mengaku acara keagamaan. Ini bibit yang biasa disebut kemunafikan. Semoga khusus di Lampung, apa yang disebut diatas tidak ada. (wassalam)