BANDARLAMPUNG – Adanya pengaduan Kuasa Hukum dari Kantor Law Firm SAC & Partners Advocates and Legal Consultans, Amrullah, S.H ke Mabes Polri, disikapi Sopian Sitepu, S.H, M.H, Penasehat Hukum dari Yayasan LBH Nasional. Hal ini terkait adanya tuduhan jika pihak Sopian Sitepu Cs telah menggelapkan dan memperjualbelikan aset terpidana Sugiarto Wiharjo alias Alay TRIPANCA.

Adapun aset yang dituduh dijualbelikan bernilai ratusan miliaran atau lebih. Yakni aset-aset yang luput dari penyitaan penyidik. Akibatnya aset itu tidak masuk objek sita rampasan negara sebagaimana di Putusan Mahkamah Agung RI nomor: 510K/PID.SUS/2014 Tanggal 21 Mei 2014 atas nama Sugiarto Wiharjo alias Alay TRIPANCA.

 

 

Padahal aset-aset ini sudah masuk objek sita sebagaimana tertuang di AKTA PERDAMAIAN Nomor : 10/PDT.G/2009/PN. TK 19 Maret 2009. Dimana ditegaskan Sugiharto Wiharjo akan menyerahkan 100 (Seratus) Bidang Tanah senilai Rp 106.000.000.000.- (Seratus Enam Milyar Rupiah) ke Satono selaku Pribadi maupun selaku Bupati Lampung Timur (Lamtim).

Lalu PN Kelas 1A TK Tanggal 26 Mei 2009 menerbitkan PENETAPAN Nomor : 09/EKS/2009/PN. TK Tanggal 26 Mei 2009 guna melaksanakan SITA EKSEKUSI terhadap 100 (Seratus) Bidang Tanah Milik Sugiarto Wiharjo. Ini dilanjutkan tanggal 28 Mei 2009 sampai dengan 1 Juni 2009, dimana saudara M. MARWAN DJAJA PUTRA S.H. selaku Juru Sita pada PN Kelas 1A Tanjung Karang berdasarkan Surat Perintah Tugas Nomor : 12/PAN/2009/PN.TK Tanggal 26 Mei 2009 telah melaksanakan SITA EKSEKUSI terhadap 66 (Enam Puluh Enam) Bidang Tanah/Obyek Sita yang terletak di Bandar Lampung sebagaimana tertuang dalam BERITA ACARA PENYITAAN EKSEKUSI (Executorial Beslag) Nomor : 09/EKS/2009/PN.TK.

Selain Sopian Sitepu, ada pihak lain turut dilaporkan. Yakni Sumarsih, S.H., beralamat di Jalan Ki Maja Nomor 172 Way Halim, Bandarlampung (LBH NASIONAL). Lalu Sugiarto Wiharjo, dahulu beralamat di jalan Laksamana Malahayati Komplek Perumahan Sumber Jaya RT 03 Kelurahan Talang, Teluk Betung Selatan, Bandarlampung, sekarang berada di LAPAS Gunung Sindur, Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Kemudian Puncak Indera, alamat di Jalan DR. Cipto Mangunkusomo Nomor: 98-A RT.01 Kupang Teba, Telukbetung Utara. Selanjutnya Hengky Wijaya alias ENGSIT (adik Sugiarto Wiharjo), alamat di Jalan RW MONGISIDI Nomor: 71-A Pengajaran, Telukbetung Utara, Bandarlampung.

Terus, Honggo Wijaya (adik Sugiarto Wiharjo), alamat di Jalan Gatot Soebroto Nomor 68, Pecoh Raya,Telukbetung Utara. Terakhir Ricky Yunaraga (PT. BPR TRI SURYA) alamat di Jalan Rasuna Said, Kompleks Perumahan Rasuna Hills, Gulak-Galik, Telukbetung Utara, Bandarlampung.

Menurut Sopian Sitefu, akta Damai tahun 2009 itu dibuat sebagai upaya terakhir dari berbagai upaya/juga upaya orang terdekat Bapak Hi. Satono, S.H., SP., untuk mencari aset Sugiarto Wiharjo. Akhirnya diketahui semua aset Sugiarto Wiharjo sudah menjadi Agunan di beberapa Bank. Akta Damai ini adalah Akta yang dibuat secara sukarela antar Kedua Belah Pihak, dimana Sugiarto Wiharjo telah rela dan setuju, maka beliau mau tanda tangan dalam Akta Damai.

Salahsatu syarat yang diajukan tidak mempersulit penyelesaian di Bank. Jadi tujuan utamanya adalah kalau ada kelebihan aset dari nilai seluruh Pinjaman Kredit Bank dari Pemegang Hak Tanggungan akan diserahkan kepada Pemkab Lamtim. Syarat itu juga disetujui Hi. Satono, dan pada akhirnya keduanya bertanda tangan.

Dia pun menegaskan jika pelapor/pengadu (Amrullah) yang mengatasnamakan Pihak ahli waris Bapak Hi. Satono, S.H., SP., yang mewakili Pemkab Lamtim agar aset yang tertuang dalam Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 jo. Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009, dapat diserahkan atau dilelang sebagai pengembalian Kasda Lamtim, tidak memiliki legal standing untuk mewakili Pemkab Lamtim. Sebab perkara ini adalah antara Pemkab Lamtim dan PT. BPR Tripanca Setiadana, Podiyono dan Raden Sudarman selaku Termohon Eksekusi.

Terkait dengan Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 yang dilanjutkan dengan Permohonan Eksekusi dan terbitnya Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009, adalah didasari saat itu PT. BPR Tripanca Setiadana dalam kondisi kesulitan likuiditas dan tidak terbayarnya tabungan Pemkab Lamtim di PT. BPR Tripanca Setiadana. Sedangkan LPS hanya menjamin sebesar Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Dalam kondisi itu aset PT. BPR Tripanca Setiadana juga tidak memiliki aset yang cukup untuk menutupi seluruh Nasabah Penabung pada PT. BPR Tripanca Setiadana termasuk tabungan Pemkab Lamtim. Sehingga saat itu Bapak Hi. Satono, S.H., S.P., meminta Kantor LBH-Nasional untuk mencari dan mengajukan gugatan kepada PT. BPR Tripanca Setiadana dan Direktur serta Komisarisnya untuk bertanggungjawab.

LBH-Nasional kemudian diberi data aset atas nama Sugiarto Wiharjo dan atas nama Pihak lain yang diduga milik Sugiarto Wiharjo, untuk dilakukan Sita Jaminan, yang saat itu aset itu telah menjadi Jaminan di beberapa Bank antara lain: Bank Mandiri dan BRI Cabang Tanjungkarang dan beberapa Bank lagi untuk agunan/jaminan PT. Tripanca Group, dimana Sugiarto Wiharjo selaku Pemegang Saham Mayoritas.

Berdasarkan hal ini, maka diajukan gugatan dan mencantumkan aset yang menjadi angunan dibeberapa Bank di Pengadilan. Lalu saat proses persidangan di Pengadilan berlangsung, PT. BPR Tipanca Setiadana dan Sugiarto Wiharjo menyetujui dibuat Akta Damai dengan aset yang diagunkan tersebut. Intinya bertujuan jika seluruh kewajiban/utang Sugiarto Wiharjo telah terpenuhi/terbayarkan kepada Pihak Bank (Kreditor Pemegang Hak Tanggungan) dan kalau masih ada aset yang tersisa atau nilai uang yang lebih atas pelelangan aset tersebut, setelah pembayaran hutang Pihak Bank, maka asset/hasil lebih pelelangan aset akan diserahkan seluruhnya ke Pemkab Lamtim.

Belakangan, PT. Tripanca Group yang bergerak dibidang Komoditas Pertanian terjadi krisis ekonomi dan harga Komoditas Pertanian anjlok. Akibatnya seluruh kreditur PT. Tripanca Group mengajukan gugatan kepada PT. Tripanca Group dan Sugiarto Wiharjo, termasuk menuntut atas aset Sugiarto Wiharjo yang ada di beberapa Bank tersebut.

�Bahwa gugatan terhadap PT. Tripanca Group dan Sugiarto Wiharjo juga bukan hanya kreditur (supplier) Komoditas Pertanian saja, tetapi ada juga sebagian dari Pemilik Agunan Sebenarnya, karena merekalah yang memiliki agunan yang diagunkan Sugiarto Wiharjo pada beberapa Bank dan termasuk dalam Akta Damai Nomor: 10/Pdt/G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009, yang mana saat itu agunan-agunan itu dipinjam/disewa oleh Sugiarto Wiharjo dan dibuat Perjanjian Jual Beli �pura-pura�, sehingga Sugiarto Wiharjo telah dilaporkan dan dijatuhi Pidana Penipuan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang seperti Perkara Nomor: 1270/Pid.B/2009/PN.Tk jo. Nomor: 1505/Pid.B/2009/PN.Tk dan beberapa putusan pidana,� urai Sopian Sitepu dalam releasnya.

Soal Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 yang selanjutnya dilakukan Permohonan Sita Eksekusi dan terbit Penetapan Eksekusi� Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk. tanggal 26 Mei 2009, dengan adanya Putusan PT. Tripanca Group sebagai Debitur Pailit sesuai Putusan Pengadilan Niaga, maka Kurator PT. Tripanca Group mengirim Surat kepada PN Tanjungkarang dan juga kepada LBH-Nasional. Intinya untuk menghentikan proses eksekusi Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 jo. Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009 dan Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 dikategorikan sebagai Akta Damai yang melawan hukum oleh Kurator melalui Suratnya tersebut.

Dimana Kurator mendasarkan Suratnya kepada PN Tanjungkarang adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 242 ayat (2)� UU Kepailitan UU Nomor 37 Tahun 2004, yang menentukan:

�Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan pengurus, semua sita yang telah diletakkan gugur dan dalam hal Debitor disandera, Debitor harus dilepaskan segera setelah diucapkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta Debitor.�

Bahwa sebagaimana isi ketentuan Surat yang diuraikan di atas, maka aset dalam Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 jo. Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009 adalah Hak Tanggungan yang ada dibeberapa Bank. Antara lain BRI dan PT. Bank Mandiri serta PT. Tripanca Group adalah Debitur Pailit, sehingga Kurator yang telah mengirim Surat kepada PN Tanjungkarang dan juga kepada Kantor LBH-Nasional menyatakan Akta Damai yang didalamnya aset atas nama Sugiarto Wiharjo yang dijadikan agunan pada PT BRI, Bank Mandiri atas fasilitas kredit PT. Tripanca Group dinilai oleh Kurator sebagai Boedel Pailit, sehingga Akta Damai Nomor: 10/Pdt.G/2009/PN.Tk. tanggal 10 Maret 2009 jo. Penetapan Eksekusi Nomor: 9/Eks/2009/PN.Tk tanggal 26 Mei 2009 adalah cacat hukum.

Untuk itu, Kurator menegaskan harus dilakukan Pengangkatan Sita. Bahwa selain permintaan Kurator itu, Pengangkatan Sita ini juga sudah dikonsultasikan ke Satono dan atas persetujuannya sebelum menjadi buronon Kejati Lampung.

�Atas kecurigaan Rekan/Pelapor kepada Kami telah melakukan penjualan aset di bawah tangan, sehingga tidak ada yang masuk ke Kas Lamtim, perlu dicermati bahwa objek yang tercantum dalam Akta Damai, semua sudah terpasang Hak Tanggungan (dalam jaminan hutang Bank), baik Surat-surat (Sertifikat), Objek tanah, tidak ada satupun aset yang Kami kuasai. Penjualan objek oleh Bank tidak melibatkan Kami. Kami tidak pernah menerima pembayaran apapun dari tanah/objek tersebut. Jadi kalau Rekan menyatakan Kami telah menggelapkan uang hasil penjualan aset Sugiarto Wiharjo atau Perusahaannya, sebagaimana Pasal 374 KUHP, maka Kami tegaskan bahwa hal itu adalah Fitnah. Kalau tidak menerima, maka uang mana yang dicuci. Uang apa?,� tulis Sopian Sitepu.

Ditambahkannya, pada saat itu dan sampai saat ini, pihaknya masih bersama dengan Bapak Satono, sebagai Penasihat Hukum Perkara Pidana dan Kuasa Hukum Perkara Perdata. Yaitu pada Akta Damai Aquo, sebelum beliau menjadi buron sekitar tahun 2012 dimana pihaknya masih mengurus perkara-perkara beliau.

�Sampai saat ini, beliau tidak pernah memberitahukan kepada Kami tentang adanya Pencabutan Surat Kuasa. Tidak ada Surat Tembusan atau Pemberitahuan secara lisan, sehingga kalaupun dikatakan ada Surat Pencabutan Kuasa dari Hi. Satono, S.H., S.P. kepada Kami, maka Surat Pencabutan Kuasa itu perlu dipertanyakan keasliannya. Bahkan awal-awal Pengangkatan Sita, Kami tetap jelaskan dan konsultasikan kepada beliau. Beliau sering mengatakan jangan mempersulit, kalau tidak ada manfaatnya bagi kita. Karena harapan awal dari Akta Perdamaian itu adalah kalau ada aset lebih atas pembayaran hutang Sugiarto Wiharjo dan Perusahaannya,� papar Sopian Sitepu.

Untuk itu, Sopian Sitepu menghimbau pengadu agar mengkaji dan menguji kebenaran pelaporannya. Sehingga tak merugikan pihak yang tidak melakukannya.

�Sebab kami tidak pernah melakukan lelang eksekusi terhadap aset Sugiarto Wiharjo.� Kejadian ini sudah lebih dari 10 tahun, maka Kami sudah banyak lupa. Apakah fotokopi Surat-surat itu benar atau tidak, masih harus dilihat dahulu Surat-surat aslinya,� tutupnya.(red)