BANDAR LAMPUNG – Kejari Bandarlampung hingga kemarin masih mengkaji perjanjian antara Pemkot Bandarlampung dan PT. Prabu Artha Developer. Ini terkait pelaksanaan pekerjaan Pembangunan Pasar SMEP Sukabaru, Tanjungkarang Barat senilai Rp286,8 miliar lebih yang kini mangkrak selama lebih empat tahun. Hal ini diungkapkan Kasi Intelijen Kejari Bandarlampung, Andri Setiawan, S.H.M.H., di ruang kerjanya kemarin.

“Masih dilakukan pengkajian. Semuanya masih dalam proses,” terang Andri Setiawan ketika dikonfirmasi mengenai kasus ini kemarin.

Ditanya hingga kapan tim Kejari Bandarlampung mengkaji kasus yang diduga berpotensi merugikan negera tersebut ? Mantan Kasi Intelijen Kejari Menggala Kabupaten Tulang Bawang ini belum dapat memastikan.

“Yang pasti secepatnya. Sekarang tim bagian Datun (Perdata dan Tata Usaha Negara,Red) masih berkerja. Tunggu saja,” ungkap Andri Setiawan lagi.

Dijelaskan Andri lagi secara umum penjanjian antara Pemkot dan PT. Prabu Artha Develover menyangkut masalah keperdataan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan, bisa saja mengarah ke tindak pidana korupsi, bila memang nanti ditemukan indikasi penyimpangan yang mengarah timbulnya kerugian negara.

Sayangnya Andri mengaku belum mengetahui tentang ketidakjelasan mengenai keberadaan bank garansi (BG) atau uang jaminan pelaksanaan pekerjaan Pembangunan Pasar SMEP senilai Rp14,3 miliar lebih, sesuai isi perjanjian. “Saya belum bisa berkomentar jauh. Intinya semua masih kami pelajari,” tuturnya kembali.

Sebelumnya diberitakan para pihak yang terlibat di perjanjian kerjasama Pemkot Bandarlampung dengan PT. Prabu Artha Developer dalam pembangunan dan penataan kembali Pasar SMEP Sukabaru senilai Rp286,8 miliar lebih agaknya tidak dapat tidur nyenyak. Pasalnya berdasarkan informasi terkini masalah ini langsung ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.

Untuk diketahui diduga ada beberapa kejanggalan dari mangkraknya pembangunan Pasar SMEP akibat adanya perjanjian tersebut. Ini seiring tidak adanya kejelasan mengenai keberadaan bank garansi atau uang jaminan senilai Rp14,3 miliar yang diberikan oleh pengembang.

Menurut Kajati Lampung Syafrudin, selama ini pihaknya belum pernah melakukan pendampingan atau pengawasan terhadap perjanjian antara Pemkot Bandarlampung dan PT. Prabu Artha Developer dalam pembangunan Pasar SMEP. Namun demikian, kini masalah itu diakuinya sudah ditangani atau diselidiki Tim dari Kejagung RI.

“Saat ini Kejaksaan Agung yang sedang melakukan penyelidikan (lid) terhadap pembangunan Pasar SMEP. Bagaimana hasilnya kita nantikan saja karena kewenangan ada pada mereka,” ujar Syafrudin.

Menariknya para pejabat Pemkot Bandarlampung sendiri saling kelit mengenai informasi mengenai keberadaan bank garansi atau uang jaminan senilai Rp14,3 miliar yang diberikan pengembang. Sebelumnya Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Trisno Andreas hingga Sekretaris Kota (Sekkot) Badri Tamam mengaku tidak tahu-menahu adanya bank garansi atau uang jaminan sebesar Rp14,3 miliar. Lalu Ketua DPRD Kota Bandarlampung, Wiyadi pun juga mengutarakan hal yang sama. Dan terbaru Walikota Herman HN juga membantah mengetahui adanya bank garansi atau uang jaminan sebesar Rp14,3 miliar tersebut.

Padahal sesuai perjanjian antara Pemkot dan PT. Prabu Artha Developer setebal 14 halaman bernomor 20/PK/HK/2013 dan nomor 888/PAD/VII/2013 dengan nilai investasi sebesar Rp286,8 miliar lebih dijelaskan beberapa kewajiban pengembang. Misalnya Pasal 6 ayat 2 butir F. Isinya ditegaskan pihak PT. Prabu Artha Develover mempunyai kewajiban menyerahkan bank garansi (BG) sebagai jaminan pekerjaan pembangunan senilai 5% dari nilai investasi. Angka ini mencapai 14,3 miliar lebih yang harus diserahkan kepada Pemkot saat penandatanganan perjanjian kerjasama berlangsung.

Dari beberapa dokumen yang ada terungkap bahwa perjanjian ini ditandatangani Walikota Bandarlampung Herman HN, sebagai pihak pertama. Lalu pihak kedua PT. Prabu Artha Developer yang diwakili Ferry Sulisthio, S.H.

Turut menyaksikan dan menandatangani Tim Kordinasi Kerjasama Daerah (TKKSD) Bandarlampung. Mereka adalah, Drs. Badri Tamam (Sekkot), Dedi Amarullah (Asisten Bidang Pemerintahan), Ir. Pola Pardede(Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan.
Lalu, Djuhandi Goeswi (Kepala BAPPEDA), Ir. Andya Yunila Hastuti (Kepala Bidang Ekonomi BAPPEDA), Zaidi Rina (Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan Drs. Khasrian Anwar (Kepala Dinas Pengelolaan Pasar).

Kemudian Ir. Daniel Marsudi (Kepala Dinas Pekerjaan Umum), Effendi Yunus (Kepala Dinas Tata Kota) dan Rifa’i (Kepala Dinas Perhubungan). Terakhir Wan Abdurrahman (Kepala Bagian Hukum), Sahriwansah (Kepala Bagian Pemerintahan) dan Susi Tur Andayani (Tenaga Ahli Bidang Pemerintahan, Politik dan Hukum).

Pihak pedagang sendiri menjadi korban yang paling teraniaya akibat adanya perjajian pembangunan dan penataan Pasar SMEP yang mangkrak ini. Bahkan, banyak pedagang yang jatuh sakit akibat stres, terserang stroke hingga meninggal dunia. Ini lantaran uang yang disetor mereka guna mendapatkan jatah toko dari pengembang ternyata tidak kunjung ada kejelasan hingga kini.

“Ini semua bisa terjadi akibat ketidak hati-hatian dan keteledoran Pemkot Bandarlampung dalam menunjuk pengembang yang terkesan tidak kridible dan profesional. Ini juga merupakan fenomena gambaran jajaran Pemkot yang tidak bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat khusus pedagang dan masyarakat sekitar yang banyak menjadi korban,” terang Dr. Dedy Hermawan, Dosen Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Lampung (Unila), belum lama ini.(red)