BANDARLAMPUNG � Kasus suap oleh terdakwa Bupati Lampung Tengah (Lamteng) nonaktif, Mustafa Cs diprediksi akan memasuki babak baru. Pasalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai berlaku diskriminasi. Dimana hanya menetapkan Mustafa dan Kadis PU Lamteng, Taufik Rahman dari pihak ekskutif serta Natalis Sinaga dan Rusliyanto dari DPRD Lamteng sebagai tersangka.

Sementara pihak pemodal atau penyandang dana uang suap hingga kini tidak tersentuh hukum dan belum ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Simon Susilo, pengusaha kakap yang juga merupakan pemilik Hotel Sheraton Lampung, kakak kandung dari terpidana Arthalyta Suryani atau populer dikenal Ayin, serta bos PT. Sorento Nusantara, Budi Winarto alias Awi.

�Padahal di fakta persidangan terungkap uang suap berasal dari keduanya,� terang Wiliyus Prayietno, S.H., M.H., advokat yang juga Ketua Lembaga Transformasi Hukum Indonesia (THI) Senin (16/7).

Sebagai konsesi pemberian uang suap itu, kedua penguasaha ini dapat pekerjaan proyek APBD Lamteng TA 2018. Simon Susilo mengambil paket proyek APBD Lamteng sebesar Rp67 miliar dengan komitmen fee sebesar Rp7,7 miliar. Sementara, Budi Winarto alias Awi mengambil proyek pengerjaan dengan nilai anggaran Rp40 miliar dan bersedia memberikan kontribusi Rp5 miliar.

�Tapi anehnya keduanya justru hingga kini tidak menjadi tersangka. KPK terkesan diskriminasi. Padahal di daerah lain, kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan,red), biasanya pihak pengusaha pemberi atau penyandang suap pasti juga menjadi tersangka. Tapi kenapa di kasus Mustafa Cs ini tidak. Ini ada apa,� tanya Wiliyus.
Karenanya Wiliyus berjanji dalam waktu dekat melaporkan dan mempertanyakan diskriminasi hukum tersebut ke KPK. �Bila tak direspon, kami siap membawanya ke dewan etik KPK,� janjinya.

Seperti diketahui di sidang kasus suap dengan terdakwa Mustafa, Kamis (5/7) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Mustafa menyebut bahwa dana Rp8,6 miliar yang dipakai menyuap anggota dewan berasal dari Simon Susilo, pengusaha kakap yang juga merupakan pemilik Hotel Sheraton Lampung, kakak kandung dari terpidana Arthalyta Suryani, serta bos PT. Sorento Nusantara, Budi Winarto alias Awi. Konsesinya, kedua rekanan ini nantinya dijanjikan memperoleh paket proyek APBD Lamteng Tahun Anggaran 2018.

�Saudara tau gak uang Rp 8,6 miliar itu dari rekanan siapa saja? ,� cecar hakim kepada Mustafa.

�Dari Simon Susilo dan Awi (Budi Winarto,red). Rekanan yang lain saya tidak tahu. Simon saya tidak tahu perusahaannya. Tapi dia yang punya Hotel Sheraton dan kapal pesiar. Kalau Awi pengusaha bensin,� jawab Mustafa.

?Setelah uang itu terkumpul, lantas sebagian diberikan ke sejumlah pihak. Yakni:
1. Natalis Sinaga melalui Rusmaladi sebesar Rp2 miliar. Uang tersebut untuk bagian Natalis sebesar Rp1 miliar dan sisanya diserahkan kepada Iwan Rinaldo Syarief selaku Plt. Ketua DPC Demokrat Lamteng Rp1 miliar.
2. Raden Zugiri selaku Ketua F-PDIP secara bertahap melalui Rusmaladi dan Aan Riyanto sebesar Rp1,5 miliar.
3. Bunyana alias Atubun anggota DPRD Lamteng melalui ajudan Mustafa yang bernama Erwin Mursalin sebesar Rp2 miliar.
4. Zainuddin, Ketua F-Gerindra melalui Andri Kadarisman sebesar Rp1,5 miliar yang diperuntukkan kepada Ketua DPD Gerindra Provinsi Lampung Gunadi Ibrahim.
5. Natalis Sinaga, Raden Zugiri, Zainuddin melalui Andri Kadarisman sebesar Rp495 juta.
6. Achmad Junaidi Sunardi selaku Ketua DPRD Lamteng melalui Ismail Rizki, Erwin Mursalin dan Ike Gunarto secara bertahap sebesar Rp1,2 miliar.

Dalam kasus ini sendiri Jaksa KPK menuntut kurungan penjara selama 4,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan penjara kepada Bupati Lamteng nonaktif, Mustafa atas dugaan suap tersebut. Selain hukuman penjara, Jaksa KPK juga minta hakim mencabut hak politik Mustafa selama 4 tahun ke depan setelah menjalani hukuman pidana.

�Menuntut pidana tambahan berupa mencabut hak terdakwa menduduki jabatan publik selama 4 tahun, terhitung terdakwa selesai menjalani masa pemidanaan,� kata jaksa KPK Asri Irawan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta, Rabu (11/7).(red)