BANDARLAMPUNG � Tak hadirnya Bupati Lampung Utara (Lampura) Agung Ilmu Mangkunegara atas panggilan penyidik Ditkrimum Polda Lampung beberapa waktu lalu, dinilai bentuk tauladan kurang baik dalam proses bernegara hukum. Apalagi, kepala daerah harusnya menjadi teladan bagi masyarakat, khususnya di Lampura. Hal itu di jelaskan Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila), Yusdianto, S.H, M.H, sebagaimana dilansir website sinarlampung.co, saat diminta tanggapan soal panggilan penyidik Polda Lampung dalam proses hukum kasus kematian Yogi Andika, yang tak lain adalah eks sopir pribadinya.

�Berdasarkan Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri,� kata Yusdianto.

Jika menolak panggilan sebagai saksi, kata Yusdianto, maka dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP.

Seperti diberitakan Ditreskrimum Polda Lampung beberapa kali gagal melakukan pemeriksaan terhadap Agung Ilmu Mangkunegara. Sebagaimana dilansir website sinarlampung.co, Penyidik Ditreskrimum Polda Lampung diketahui telah melayangkan surat panggilan ke Agung untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus kematian Yogi Andika. Surat panggilan telah dikirim sebanyak dua kali untuk menghadap penyidik Unit I Subdit II Ditreskrimum.

Tertera dalam surat panggilan Nomor : Spgl/545/IX/2018/Ditreskrimum, tgl 12 September 2018, diminta menghadap tgl 17 September 2018 dan Surat panggilan kedua Nomor : Spgl/. /IX/2018/Ditreskrimum, tgl 17 September 2018 untuk menghadap Tanggal 24 September 2018.

Namun Agung tidak hadir dan mengirim surat balasan ke Penyidik Unit I Subdit II Ditreskrimum perihal permohonan waktu menghadap. Kabar beredar di Polda Lampung dan Lampura, Jumat (12/10) lalu, Agung Ilmu Mangku Negara akan hadir ke Polda Lampung menghadap penyidik Ditreskrimum. Tapi hingga pukul 18.00, Agung tak juga hadir.

Kasus kematian Yogi Andika, sopir pribadi Agung Ilmu Mangkunegara, yang diduga tewas akibat penganiayaan berat oleh sekelompok orang dekat bupati, masih berjalan di Polda Lampung. Berkas perkara yang sempat dikembalikan Jaksa Kejati Lampung, itu kini diproses di Polda dan melanjutkan pemeriksaan saksi.

Kasus kematian Yogi Andika dilaporkan keluarganya ke Polres Lampura dengan nomor laporan polisi: LP/237/III/Polda Lampung/Spk T Res Lam Ut, tanggal 20 Maret 2018. Laporan disampaikan Fitria Hartati (56) orang tua Yogi Andhika, warga Jalan Bunga Uli 4 No.24 Rt 008, Kelurahan Perum Way Kandis, Kecamatan Tanjung Senang, Bandarlampung.

Kasus Yogi Andika, cukup menjadi perhatian masyaarakat tidak di Lampura, tetapi juga hingga ke Jakarta. Tidak sedikit kelompok elemen masyarakat berunjukrasa terkait kasus ini. Keluarga korban juga sempat minta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang kemudian menurunkan tim ke Lampung melakukan investigasi. Kasus Yogi Andika sempat tertunda karena masuk proses Pilkada Lampura, sehingga ada pertimbangan takut ditunggangi kepentingan Politik.

Kuasa Hukum orang tua korban, Riza Hamim, sebelumnya mengatakan semua masalah dalam kasus itu diserahkan kepada penegak hukum. �Saya mendampingi Fitria Hartati melaporkan kasus dugaan pengeroyokan dan penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya korban Yogi Andhika,� kata Riza Hamim.

Sementara itu, dari keterangan Fitria Hartati, kronologis singkat peristiwa tragis yang menimpa putranya, �Ketika itu, anak saya Yogi Andhika pulang ke rumah dengan sekujur tubuh penuh luka dan memar. Kepala bagian belakangnya pecah, di punggungnya penuh dengan luka semacam sundutan api rokok. Bahkan ketika itu, anak saya sempat mengeluarkan muntah dengan darah yang mengental,� tutur dia.

Menurutnya, dengan perasaan yang hancur lebur dan penuh tanda tanya, dirinya bersama dengan keluarga mengantarkan almarhum Yogi Andhika ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek guna memberikan pertolongan pada anaknya tersebut. �Almarhum Yogi hanya mampu dirawat selama 5 hari. Karena kami tidak memiliki biaya untuk pengobatan, maka diputuskan untuk merawat almarhum di rumah. Meskipun pihak rumah sakit melarang karena kondisi almarhum Yogi saat itu sangat parah dan masih membutuhkan perawatan intensif,� ujarnya.

Saat Yogi Andhika dirawat di rumah, lanjutnya, Yogi mengaku sempat mengalami penganiayaan yang dilakukan sejumlah oknum. �Pada Rabu tanggal 26 April 2017,Yogi Andhika dituduh mengambil sejumlah uang, namun dikarenakan korban merasa tidak melakukan perbuatan tersebut dan korban takut karena diancam kemudian korban mengamankan diri,� terangnya.

Dari kejadian itu, korban dipancing untuk datang ke rumah AR di Bandarlampung karena dijanjikan pekerjaan. Setelah korban datang menemui AR, kemudian korban dijemput oleh 4 orang laki laki. Dua diantaranya yakni AND dan BOW, selama dalam perjalanan korban dianiaya bahkan sesampai di Lampura korban masih mengalami penganiayaan.

Setelah mengalami luka berat kemudian korban dibawa ke Bandarlampung dan sesampainya di Jalan By Pass korban dibuang di pinggir jalan, setelah itu korban ditemukan warga dan dibawa ke Rumah Sakit Abdoel Moeloek. �Pada tanggal 15 Juli 2017 korban meninggal dunia di rumah sakit,� ungkapnya.

Yang lebih mengecewakan, sebelum Yogi Andhika menghembuskan nafas, pihak keluarga sangat terkejut bahwa almarhum dijadikan sayembara dan diberikan hadiah Rp5 juta bagi yang menemukan. Pada kasus ini, lantas keluargapun berharap aparat kepolisian dapat mengusut tuntas pelaku dan dalang dibalik terbunuhnya Yogi Andhika. Keluarga besar juga berniat mengirimkan surat kepada Mabes Polri dan Presiden meminta pengusutan kasus ini serta dibuka lebar kepada masyarakat.

Kasus itu sempat satu bulan di Proses Polres Lampura, yang melakukan penyelidikan untuk mengungkap kematian Yogi Andika.(net)