Jakarta�- Sepanjang era pemerintahan�Jokowi–JK, utang pemerintah bertambah Rp 1.644,22 triliun. Catatan itu menjadi bahan pembahasan hangat belakangan ini. Jumlah�tambahan utang�tersebut berasal dari perhitungan jumlah utang pemerintah pada 2014 sebesar Rp 2.608,8 triliun, kemudian bertambah menjadi 4.253,02 triliun per Juli 2018. Lalu amankah jumlah tambahan utang tersebut?
Chief Economist Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menjelaskan ada beberapa cara untuk melihat kondisi utang negara. Salahsatunya dengan melihat rasio utang terhadap PDB. Menurut data Juli 2018 rasio itu masih berada di level 29,75%.
“Rule of time rasio utang terhadap PDB masih bisa sampai 35%. Jadi masih aman karena ada ruang utangnya masih ada. Berarti masih aman,” terangnya sebagaimana dilansir detikFinance, Selasa (21/8/2018). |
Kedua, bisa dilihat dari pembagian jenis utang pemerintah dari sisi tenor. Jika pinjaman dengan tenor jangka pendek masih di bawah 50% maka masih aman. Hal itu untuk membandingkan kemampuan cadangan devisa untuk membayar utang jangka pendek.
“Katakanlah utang jangka pendek 50% dari Rp 4 ribu triliun, berarti kan Rp2 ribu triliun. Sementara cadev US$ 118 miliar itu sekitar Rp 1.600 triliun. Berarti kan utang jangka pendek masih jauh di bawah 50% dari cadev,” tuturnya.
Selain itu untuk melihat kemampuan pembayaran bunga utang, bisa dilihat dari neraca keseimbangan primer. Makin tahun defisit keseimbangan primer semakin baik, dari 1,24% di 2015 menjadi 0,59% di 2018. “Kalau dilihat kinerja dari waktu ke waktu menurun, artinya pajak bisa untuk pakai bayar bunga utang. Walaupun masih defisit tapi sudah oke, defisit primer sudah terjadi sejak jaman SBY,” tambahnya.
Menurut Lana jika ingin memperdebatkan soal hutang harus melihat dari kaca mata yang sama.�”Kalau melihat pakai pakem ekonomi ya seperti itu, tidak bisa jadi bahan politik,” terangnya.(net)