LAMPUNG � Kenaikan harga LPG nonsubdisi dikhawatirkan akan memicu kegaduhan baru di masyarakat. Seperti halnya minyak goreng, bahan bakar untuk memasak ini diprediksi akan sulit didapat, menimbulkan panic buying hingga kemungkinan penimbunan.

Ketua YLKI Lampung Subadra Yani Moersalin menilai kenaikan LPG nonsubsidi ditengah masa pandemi Covid-19 tersebut akan berdampak pada banyaknya masyarakat yang beralih untuk menggunakan LPG subsidi.

“Di tengah masa pandemi Covid-19 serta menurunnya daya beli masyarakat lagi-lagi Pemerintah menaikkan kebutuhan pokok. Minyak goreng belum selesai sekarang LPG. Maka manusiawi, akan banyak masyarakat yang akan beralih ke LPG subisidi jika kenaikan nya begitu tinggi,” katanya.

Subadra menilai, keputusan pemerintah yang menaikan harga LPG nonsubsidi yang bersamaan dengan kenaikan beberapa harga kebutuhan pokok lainnya dinilai gegabah dan tidak mempertimbangkan kesusahan rakyat.

“Pemerintah ini mau mensejahterakan atau mau menyengsarakan rakyat. Di tengah pandemi yang daya beli menurun, pendapatan menurun, tapi di sisi lain pemerintah menaikkan harga kebutuhan pokok. Dari minyak, kedelai dan sekarang menyusul gas,” terangnya.

Karenanya, ia berharap agar pemerintah pusat mengkaji ulang kenaikan harga LPG nonsubsidi. Serta melibatkan dan meminta masukan dari masyarakat dalam hal ini melalui DPR RI.

“Ini bahaya. Harga kebutuhan pokok sekarang tidak dikendalikan oleh negara tapi diserahkan dengan pasar. Tanpa ada persetujuan rakyat melalui DPR RI dan DPR harus ambil langkah untuk mengkaji ulang,” tuturnya.

Ia juga mengungkapkan jika pemerintah tidak bisa menambah kuota LPG subisidi. Hal tersebut lantaran kuota LPG subisidi telah ditetapkan ditahun anggaran sebelumnya.

“Biasanya kuota di usulkan lebih awal, jadi tidak bisa di tambah begitu saja. Bisa di tambah tapi dengan pertimbangan yang matang. Tapi jika tidak di tambah kuotanya maka khawatir akan ada kelangkaan seperti minyak goreng,” terangnya.

Sementara itu Area Manager Communication, Relation dan CSR Pertamina Patra Niaga Sumbagsel, Tjahyo Nikho Indrawan, mengatakan jika LPG subsidi 3 kg yang porsinya lebih dari 93 persen dari total konsumsi LPG nasional tidak mengalami perubahan harga.

“Tapi untuk penentuan kuota itu bukan dari Pertamina tetapi dari pemerintah daerah melalui BPH Migas. Pertamina hanya sebagai operator, disuruh menyediakan sekian di wilayah mana kami siap,” katanya.

Ia juga mengungkapkan jika pihaknya menyediakan LPG Bright Gas. Masyarakat yang mampu dan juga menengah keatas diimbau agar tetap menggunakan LPG Bright Gas atau LPG nonsubsidi.

“Kami mengimbau agar masyarakat yang mampu atau menengah ke atas dapat tetap menggunakan LPG Bright Gas atau LPG nonsubsidi. Karena LPG Subsidi itu untuk masyarakat yang kurang mampu,” kata dia.

Sementara itu, mayoritas pemilik warung akan menaikkan harga gas LPG Non Subsidi, buntut dari kenaikan harga ketetapan Pertamina.

Melansir informasi daftar harga dari Pertamina, terdapat rincian harga jual LPG Non Subsidi di Lampung, seeprti Bandar Lampung misalnya, untuk ukuran isi ulang 12 kilogram, dari yang semula Rp 165 ribu, kini naik menjadi Rp 189 ribu.

“Kenaikan harga mau tidak mau ya diikuti,” kata Anton, pemilik warung di Kecamatan Kedaton.

“Kalau kemarin harganya Rp 165 ribu dari agen, biasanya dijual lagi Rp 170 ribu- Rp 175 ribu. Selisihnya lumayan karena LPG 12 kilo ini termasuk barang yang ritme jual belinya termasuk lama,” lanjut dia.

Sementara untuk harga terbaru, bisa mencapai Rp 200 ribu.

“Tapi ini masih jual dengan harga lama, karena masih stok lama,” kata dia

Menurutnya, dengan harga baru itu, penjualan LPG Non Subsidi akan semakin sulit, karena berkaitan dengan penurunan permintaan.

“Orang masih harga yang kebaikan Desember kemarin masih sulit juga,” kata dia. (kpt/lpc)