� Saya Tidak Gentar�, demikian kata Fathikatul Khoiriah atau yang biasa akrab dipanggil �Khoir�, Ketua Bawaslu Provinsi Lampung yang sedang viral di media massa cetak dan�elektronik. Ungkapan itu terkait dirinya sedang memimpin pemeriksaan atas laporan Paslongub 1 dan 2 terhadap Paslongub 3 yang diduga melakukan tindak pidana politik uang secara TSM di Bawaslu Provinsi Lampung.

Menurutnya terdapat intimidasi dan intervensi personal terhadap dirinya, sehingga Khoir perlu menyampaikan hal tersebut di wall facebooknya, yang kemudian banyak�mendapat tanggapan dukungan dari berbagai teman dan ormas. Tetapi, apa yang�disampaikannya juga banyak mendapat cibiran, terutama di kalangan mereka yang�memahami kinerja Bawaslu dan Panwas di Lampung yang �melempem� terhadap politik�uang pada Pilgub 27 Juni 2018 lalu.

Soal ucapan gentar atau tidak gentar yang banyak pihak menyayangkan karena tidak�layak diucapkan seorang pejabat publik, seyogianya Bawaslu Provinsi Lampung�memperhatikan juga adanya ancaman sanksi pidana terhadap mereka apabila melanggar�Pasal 29 jo Pasal 193B ayat (1) UU Pilkada.

Pasal 29 UU Pilkada menyatakan Bawaslu Provinsi wajib: a. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; b. melakukan pembinaan dan�pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawas pemilihan umum pada tingkatan di�bawahnya; c. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan; d.menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuai dengan tahapan Pemilihan secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan; e. menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPUProvinsi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilihan di tingkat Provinsi; dan f. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 193B ayat (1) UU Pilkada menyatakan: Ketua dan/atau anggota Bawaslu Provinsi yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).

BAWASLU MENGABAIKAN POLITIK UANG

Pengalaman saya menjadi ahli perkara dugaan politik uang Pilgub Lampung pada beberapa Panwas Kabupaten/Kota menunjukkan Panwas/Bawaslu mengabaikan politik uang, karena mereka lebih mengutamakan keadilan prosedural daripada keadilan substansial. Perkara dugaan politik uang di Kabupaten Pringsewu misalnya, telah terdapat 2 alat bukti yaitu saksi dan uang dalam amplop dari Paslongub No. 3, tetapi tidak dilanjuti ke penyidikan karena terlapor/pelaku tidak ada di tempat/menghilang, sehingga setelah lewat waktu 5 hari�penyelidikan, perkara dihentikan karena pelakunya tidak dapat diperiksa. Padahal menurut�ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP pelaku dapat ditangkap oleh penyelidik atas perintah�penyidik berdasarkan bukti yang cukup.

Menarik lagi perkara politik uang di Pesisir Barat, barang bukti uang sebesar Rp 6 juta ada, tetapi saksi-saksi dan terlapornya �menghilang�, sehingga setelah lewat 5 hari perkara�tidak dilanjutkan ke penyidikan.

Strategi terlapor atau saksi-saksi menghilang, tampaknya menjadi modus operandi perkara politik uang tidak dilanjutkan ke penyidikan, bukan karena bukti tidak ada,�melainkan karena prosedur 5 hari �penyelidikan� sudah terlewati.

Memperhatikan fenomena demikian, menurut penapat saya Bawaslu telah�melanggar ketentuan Pasal 29 huruf c UU Pilkada yang berbunyi: Menerima dan�menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap�pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan yang ancaman pidanya�terdapat dalam Pasal 193B ayat (1) UU Pilkada.

MENGGUNAKAN DANA APBD

Pilgub Lampung 27 Juni 2018 ternyata menggunakan dana APBD Prov. Lampung TA. 2017 dan 2018 sebesar Rp 382.932.645.424. Hampir setengah trilyun rupiah yang diperuntukkan untuk KPU Provinsi sebesar Rp 267.931.324.424. Bawaslu Provinsi Rp 92.501.321.000.�Polda Lampung Rp 20.000.000., dan Korem 043 GATAM Rp 2.500.000.

Peruntukkan dana yang sangat besar tersebut tidak berbanding lurus dengan kinerja KPU, Bawaslu dan Polda antara lain dalam meningkatkan jumlah pemilih yang ternyata�turun dari Pilgub sebelumnya. Banyak terjadinya pelanggaran Pilgub, termasuk politik uang�yang TSM, yang penegakan hukumnya tidak efektif dan berjalan dengan baik.

Terbentuknya Pansus Dugaan Politik Uang DPRD Prov. Lampung adalah lebih kepada�mengawasi dana Pilgub yang sangat besar tersebut, yang persetujuan penganggarannya telah diberikan oleh DPRD Prov. Lampung. Dengan pelaksanaan Pilgub yang carut marut dan kurang ditanganinya politik uang yang TSM, DPRD Lampung juga harus bertanggungjawab.

Maka Pansus mendalami laporan-laporan dan temuan politik uang dari masyarakat, bagaimana kinerja Panwas/Bawaslu apakah bekerja dengan baik atau mengabaikannya, termasuk juga akan mengundang BPK R.I. Perwakilan Lampung untuk mengaudit dana APBD yang jumlahnya hampir setengah trilyun tersebut. Apabila BPK R.I. menemukan adanya kerugian keuangan negara oleh KPU dan Bawaslu, ada sanksi pidana tindak pidana korupsi.(* Pengajar Fakultas Hukum Unila)