BANDARLAMPUNG � Penasehat Hukum (PH) Syamsul Arifin, S.H., M.H., mengaku kecewa. Ini mensikapi vonis 2 tahun dan denda sebesar Rp2 miliar subsidair 3 bulan penjara terdakwa Harsono Bin Ambotang yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang.

Dimana warga Jl. Teluk Bone Kelurahan Kota Karang, Teluk Betung Timur, Bandarlampung dinilai bersalah melanggar pasal 73 ayat (1)�huruf b jo Pasal 35 huruf e, f dan g UU RI Nomor: 27 Tahun 2007 tentang sebagaimana telah diubah UU RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil jo UU RI No: 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja jadi UU. Yakni sengaja merusak Ekosistem Manggrove, melakukan konversi Ekosistem Manggrove, menebang Manggrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain.

�Padahal jelas dilapangan didapati fakta kondisi hutan mangrove sudah rusak selama puluhan tahun. Bahkan Kantor Kelurahan Kotakarang serta Gedung SMPN 42 Bandarlampung berdiri di lahan bekas hutan mangrove ini, mengapa tidak dipersoalkan. Karenanya selain mengajukan banding perkara terdakwa Harsono Bin Ambotang, Tim PH mempertimbangkan melakukan gugatan perbuatan melawan hukum atas berdirinya Kantor Kelurahan Kotakarang serta Gedung baru SMPN 42 Bandarlampung di PN Tanjungkarang,� cetus Syamsul Arifin, Selasa 5 Desember 2023.

Selain itu Syamsul menyinggung tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yani Mayasari, S.H, M.H, dari Kejati Lampung yang menuntut pidana penjara 2,5 Tahun dan denda sebesar Rp2 miliar subsidair 4 bulan penjara yang dinilainya jauh dari rasa keadilan.

�Tuntutan ini terlalu mengada-ada dan mengesampingkan fakta persidangan dan pemeriksaan setempat. Sepertinya Penyidik dan JPU tak paham azas Subsidiaritas dalam penegakan hukum lingkungan dan emosional dalam penyusunan dakwaan sehingga melupakan azas keadilan dan azas manfaat dalam penerapan hukum pidana,� katanya lagi.

Syamsul mencontohkan penanganan perkara di kasus sejenis. Yakni kasus pengrusakan tanaman mangrove di Desa Hurun, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran beberapa waktu lalu atas nama terdakwa Darma Wangsa. Dimana Darma Wangsa hanya divonis tiga bulan penjara oleh majelis hakim PN Tanjungkarang yang terdiri dari Hendro Wicaksono, S.H., Efiyanto D, S.H., dan Raden Ayu Rizkiyati, S.H. Saat itu JPU Kandra Buana, S.H. dari Kejati Lampung hanya menuntut empat bulan penjara dan denda Rp5 juta subsidair 1 bulan penjara. Sebab hanya dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana �karena kelalaiannya terjadi kerusakan ekosistem mangrove� sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 73 ayat 2 huruf (b) UU Nomor 1 tahun 2014 Jo UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Padahal urai Syamsul baik terdakwa Harsono maupun terdakwa Darma Wangsa dalam dakwaannya sama-sama dijerat dakwaan Pertama Pasal 73 ayat 1 huruf (b) Jo Pasal 35 huruf e,f dan g UU Nomor 1 tahun 2014 Jo UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau dakwaan kedua Pasal 73 ayat 2 huruf (b) UU Nomor 1 tahun 2014 Jo UU Nomor 27 Tahun 2007.

�Tapi mengapa terdakwa Harsono bisa dianggap melanggar dakwaan pertama dan dituntut tinggi. Sementara terdakwa Darma Wangsa dianggap melanggar dakwaan kedua yang itu ancaman hukuman sebenarnya�mencapai lima tahun, tapi hanya dituntut 4 bulan penjara. Semua fakta ini akan kami beberkan dalam memori banding. Tak lupa, kami akan menyampaikan rasa ketidakadilan penanganan kedua perkara ini ke Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan, agar mereka dapat mengkaji dan menela�ah,� tutup Syamsul Arifin.(red)