BANDARLAMPUNG – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung dan 11 lembaga penggiat lingkungan lainnya minta keseriusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) menangani kasus dugaan reklamasi di Pantai Marita Sari dan Pulau Tegal Mas. Pasalnya dari pantauan dilapangan, meski telah dipasang larangan atau penyegelan oleh KPK, BPN, KLHK dan KKP, aktivitas penyeberangan dari dermaga pantai Marita Sari menuju Pulau Tegal Mas masih berlangsung.
Di lokasi reklamasi dan pengerukan bawah laut yang dijadikan dermaga penyeberangan menuju pulau Tegal Mas masih beraktivitas. Lalu, melakukan penyeberangan kapal yang bersifat komersil (membawa) penumpang dari Pantai Marita Sari ke Pulau Tegal Mas.
Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan masih adanya aktivitas dilokasi yang jelas bermasalah atau dalam proses penyelidikan tidak dibenarkan secara hukum. �Memang benar disitu masih ada aktivitas penyeberangan, berselang sehari setelah dilakukan penyegelan, karenanya kita minta keseriusan dari KLHK dan KKP menangani kasus ini,� kata Irfan Tri Musri, Minggu, (18/08) sebagaimana dilansir website metropolis.co.id.
Dia menjelaskan, KPK tidak punya kewenangan eksekusi, terhadap kasus reklamasi di Pantai Marita Sari dan Pulau Tegal Mas. Tapi yang berhak melakukan eksekusi adalah KLHK dan KKP Pusat. �Kami akan terus kawal kasus ini agar penanganannya tidak hanya dilakukan penyegelan. Tapi harus ada proses hukum karena telah terjadi reklamasi dan kerusakan di laut baik pantai Marita Sari maupun Pulau Tegal Mas,� ujarnya lagi.
Walhi Lampung menilai reklamasi pantai oleh pengelola Pulau Tegal di Desa Sidodadi, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran sudah melanggar tiga undang-undang. Yaitu UU. No 32 tahun 2009, UU No. 1 tahun 2014 dan UU nomer 27 tahun 2007. Terkait itu, Walhi Lampung dan lembaga penggiat lingkungan mendorong proses penegakan hukum yang saat ini dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap pelanggaran lingkungan hidup oleh pengelola tempat wisata Tegal Mas di Pulau Tegal.
�Reklamasi yang mereka lakukan di Pantai Marita Sari menggunakan material dengan melakukan pengerukan bukit yang tidak jauh dari lokasi. Wisata di Pulau Tegal Mas sejak Januari 2018 tidak punya izin lokasi perairan pesisir dan izin pengelolaan perairan pesisir,� tegas Irfan Tri Musri kembali.
Selain itu, Walhi menilai reklamasi di Pantai Marita Sari maupun aktivitas wisata di Pulau Tegal rentan memengaruhi lingkungan hidup. �Akhirnya kami menyimpulkan ada pelanggaran tiga undang-undang dan ini termasuk kejahatan yang luar biasa,� katanya.
Menurut Irfan, dari pantauan Walhi Lampung, aktivitas di Pantai Marita Sari yang telah disegel, tapi tetap digunakan sebagai lahan parkir tamu yang akan ke Pulau Tegal dan di pulau itu masih ada alat berat.
�Kami menilai kegiatan itu merupakan pengabaian proses hukum yang sedang berjalan. Aktivitas di Pulau Tegal masih berjalan, di sana juga masih ada alat berat eksavator yang kami duga sebagai alat pengerukan bukit untuk reklamasi pantai,� ungkapnya.
Irfan menegaskan Pulau Tegal termasuk kawasan strategis nasional daerah latihan militer Teluk Lampung (KSN-TL-1), daerah ini tidak boleh ada reklamasi. �Lebih dari 90 persen kawasan Pulau Tegal itu (KSN-TL-1). Di daerah ini tidak boleh ada reklamasi, kalau kawasan wisata tertentu boleh,� katanya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Walhi Lampung bersama 11 lembaga peduli lingkungan mendorong KLH�bersama Kementerian Kelautan, Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan KPK melakukan penghentian seluruh aktivitas di Pulau Tegal Mas.
�Harus dihentikan segala aktivitas di sana dalam rangka proses hukum penyelidikan dan penyidikan. Selain itu dilakukan juga pemantauannya karena meski sudah di pasang plang pengumuman kegiatan masih berjalan. Yang tak kalah penting yaitu penegakan hukum baik pidana maupun perdata atas pelanggaran undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil dan tentang penataan ruang. Kami juga meminta dengan tegas pengelola melaksanakan kewajibannya mengembalikan fungsi kawasan pantai yang direklamasi,� tegas Irfan Tri Musri.
Selanjutnya pernyataan sikap bersama 12 lembaga penggiat lingkungan ini�akan disampaikan ke Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Mentri Kelautan dan Perikanan, Mentri Agraria dan Tata Ruang, KPK, Kapolri, Kasal, Jaksa Agung, Komisi VII DPR RI dan Eksekutif Nasional Walhi.
Dua belas lembaga yang melakukan pernyataan sikap itu diantaranya adalah Walhi Lampung, LBH Bandarlampung, KBH Lampung, PBHI, Mitra Bentala, Kawan Tani, Yasadhana, Wanacala, PKBI Lampung, SP Sebay Lampung, dan Matala Lampung.
Kasus reklamasi pantai yang dilakukan pengelola pulau Tegal sebenarnya sudah dilaporkan Walhi ke Polda Lampung, 11 Januari 2019. Dalam laporannya, Walhi menyebutkan pengelola wisata Tegal diduga melakukan reklamasi pantai pengerukan bukit tanpa izin.
Seperti diketahui, KPK, KLHK, BPN dan KKP sebelumnya mensegel pantai Marita Sari maupun di Pulau Tegal Mas. Berikut isi plang penyegelan oleh KPK, KLHK, BPN dan KKP baik di pantai Marita Sari maupun di Pulau Tegal Mas.
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan apapun di dalam areal ini. Areal ini dalam proses penyelidikan PPNS atas dugaan pidana;
- Pelanggaran pasal 98 dan 109 Undang-undang No. 32 Tahun 2019 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.
- Pelanggaran pasal 69 ayat (1), pasal 74 Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, hukuman 3 tahun penjara dan denda paling banyak Rp500 juta.
- Pelanggaran pasal 75 Jo pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, ancaman hukuman paling lama 3 tahun penjara dan denda paling banyak Rp500 juta.
- Pelanggaran pidana pasal 73 ayat 1 hurul (g) Jo pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Barang siapa dengan sengaja memutus, membuang, atau merusak penyegelan suatu benda oleh atau atas nama pengusaha umum yang berwenang atau dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan segel, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan (pasal 232 ayat 1 KUHP).(red/net)
�
�