TUBABA – Indrawan atau lebih akrab disapa Abi adalah guru atau ustad memberi pelajaran 50 anak-anak santriwan/i di Ponpes Islam Wathon Desa Panaragan Suku Empat Kecamatan Tulang Bawang Tengah (TBT) Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba). Setiap sore, ia mengajar dan mendidik 50 santri di pondok reyot tersebut.
Sejak dua tahun lalu, ia bersama istri dan seorang sahabatnya setiap hari pulang pergi (PP) dari Perumahan Blok Muslmin dekat perkantoran Pemda setempat hanya untuk mendidik dan mengajar anak kampung atau Tiyuh Panaragan. Mereka mengajar dan mendidik agar dapat mencetak pemimpin yang cerdas dan hafal Qur’an.
” Kami bangga bila negeri ini dipimpin oleh orang-orang cerdas dan bertaqwa kepada Sang Pencipta. Karena dunia ini hanya tempat persinggahan sementara atau sebut saja hanya tempat kos-an manusia saja. Maka dikemudian hari manusia akan mudik pulang kampung dimana asalnya,” katanya.
Lanjutnya, apalagi mengingat dahulu Islam wathon adalah tempat lahirnya para pemimpin, cendikiawan yang soleh dan soleha di negeri ini maka adalah sesuatu kebanggan kami dapat menerus cita-cita para leluhur, penggagas berdirinya sekolah tersebut,
Islam wathon bukanlah sebuah aliran atau ajaran atau sebuah organisasi tertentu namun Islam wathon adalah tempat para orang-orang dahulu menimba ilmu atau sekolah kususnya ilmu agama islam dan pengetahuan lainnya maka pada zaman itu Panaragan disebut sebagai kota pendidikan.
�Hanya saja kita sedikit memiliki bukti-bukti sejarah tentang hal ini, namun cerita rakyat bahkan alumni yang masih ada saat ini adalah bukti bahwa Islam wathon adalah tempat mereka menimba ilmu di zaman tersebut yakni pada tahun 1928 silam,” ucapnya.
Selain mengaji,menghapal Quran belajar bahasa arab, anak didik diajak mencoba beberapa ilmu pengetahuan alam sederhana yang biasa diajarkan di bangku sekolah dan membaca buku seperti latihan bela diri Pramuka, seni memanah, renang, kuda, menulis kaligrafi, melukis, membaca,bedah buku.
Ia menamakan kegiatan itu sebagai Laboratorium Inspirasi Islam Wathon, walau sebenarnya laboratoriumnya tidak ada, hanya menggunakan emperan masjid dan halaman masjid.
Semua kegiatan diberikan dengan cuma-cuma alias gratis dan bulan depan akan diikut lombakan pada perlombaan karateka di Natar Lampung Selatan.
Sayangnya, Indrawan mengaku masih banyak kekurangan untuk mendukung Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM). Misalnya ruang laboratorium, ruang kelas baru yang layak, dan penunjang kegiatan belajar murid-murid.
“Saya ingin anak-anak mainnya tidak cuma gadget. Saya prihatin dengan generasi kita saat ini, banyak diantara mereka kecanduan dengan gadget terutama dengan game online,” tutur alumnus Al-Fatah itu.
Menurut Indrawan,demam gadget saat ini cukup parah. Ada beberapa anak mencuri uang milik orang tuanya hanya untuk membeli pulsa ya g nilainya ratusan ribu rupiah hanya untuk membeli paket kuota internet.
Pertama kali saya merintis ruang sosial dan ruang belajar memang tidak mudah, sebab saya butuh tempat belajar dan pada ahirnya saya bertemu dengan sahabat saya Jazuli yang memiliki visi yang sama dan pada ahirnya kami gunakan bekas gedung Sekolah Islam wathon yang sudah rusak walau terkadang saat hujan banyak lubang atap yang bocor.
Begitu pula saat kegiatan mulai berjalan,anak-anak menolak sebab dijauhkan dengan gadget dan permainan game mereka. Namun dengan pendekatan yang baik ahirnya anak-anak mau diajak bermain permainan tradisional dan mau diajak belajar sehingga pada ahirnya mereka lupa kepada gadgetnya. (jz)