TUBABA – Program cetak sawah Tulangbawang Barat (Tubaba) dinilai tidak efektif membantu krisis pangan di masa pandemi. Pasalnya, kegiatan pengembangan lahan marjinal memerlukan waktu lama dan produksinya belum tentu memadai.
Sampai saat ini banyak kelompok tani yang memiliki lahan rawa yang digusur untuk cetak sawah pun mengalami gagal panen.
Seperti yang diungkapkan Lohmudin dan rekan-rekan. Ia menceritakan baru pertama kali digusur lahannya yang penuh dengan pohon-pohon rawa. Lalu diberi bantuan bibit.
“Saya diberi bantuan bibit dan saya tanam di lahan yang dibuat cetak sawah oleh TNI. Namun belum sempat tumbuh tinggi, padi saya sudah terendam banjir. Inilah kesulitan yang kami alami hingga sampai saat ini. Kami para petani, tidak sanggup menanam padi di lahan tersebut karena tidak dapat memprediksi air rawa,” katanya.
“Air di tempat kami ini ketinggiannya bisa sampai tiga meter, bahkan lebih. Jadi bagaimana kami bisa panen. Belum sempat tumbuh tinggi padinya sudah terendam banjir,” jelasnya, Selasa (6/10).
Dilain pihak, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan penurunan lahan tanaman pangan memang menjadi masalah utama pertanian. Banyak lahan pertanian yang dikonversi untuk industri, dan infrastruktur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat antara 2018 dan 2019, luas panen padi berkurang dari 11,4 juta hektare (ha) menjadi 10,7 juta ha.
“Upaya pemerintah untuk memperluas lahan pertanian perlu diapresiasi, namun langkah ini tidak bisa diharapkan menjadi solusi cepat untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi COVID-19,” kata Felippa dalam keterangan tertulis dikutif dari Ekonomi bisnis.com.
Pembukaan lahan sawah baru, terutama di lahan gambut dan rawa disebutnya membutuhkan waktu lama mulai dari mengolah lahan dan proses pertaniannya.
Hasil pembukaan lahan pun tidak bisa membantu kekurangan stok pangan yang terjadi saat ini, bahkan bantuan beras dari Pemkab setempat pun bukan dari hasil panen program cetak sawah namun membeli dari luah daerah.
Felippa menambahkan, untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi, pemerintah seharusnya memperkuat produksi pangan dengan memberi fasilitas bagi petani seperti teknologi, sarana prasarana, dan kemudahan kredit usaha. Selain itu, pemerintah perlu memaksimalkan stok pangan melalui penyerapan produksi domestik sebanyak mungkin dan impor pangan.
Felippa pun mengemukakan pentingnya berkaca pada pengalaman proyek pengembangan lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Program tersebut menunjukkan bahwa lahan gambut tidak cocok untuk penanaman padi.
“Saat itu yang terjadi malah gagal panen dan kerugian besar. Lahan gambut lebih cocok untuk komoditas hortikultura, seperti nanas sayur mayur, pengolahan lahan gambut juga membawa risiko lingkungan yang besar akibat pelepasan karbon ke udara,” lanjutnya. (Jazuli/zainal)