TUBABA – Lahirnya UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 4 secara jelas bertujuan membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab, meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum, meningkatkan ketahanan sosial budaya guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional, memajukan perekonomian masyarakat serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Sebagai implementasi tujuan diatas maka Tahun 2015 Pemerintah Pusat untuk pertama kalinya mengucurkan dana desa (DD) melalui transfer langsung ke rekening pemerintah daerah. Dan sejak tahun 2020 Dana Desa tidak lagi ditransfer melalui rekening pemerintah daerah, melainkan langsung ke rekening kas desa (RKD).

Tahun 2024 revisi undang – undang desa disahkan menjadi UU No. 3 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 06 Tahun 2014 Tentang Desa yang point penting dalam perubahan tersebut adalah memperpanjang jabatan kepala desa (kades) menjadi 8 tahun dan pemberian tunjangan purna tugas satu kali di akhir masa jabatan kades, BPD, dan perangkat desa sesuai kemampuan.

Seiring disyahkannya perubahan undang – undang desa tersebut melalui Staf Khusus Menteri bidang media dan informasi Ahmad Imam Sukri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Tranmigrasi (Kemendesa PDTT) mengumumkan kenaikan dana desa dari Rp70 Triliun menjadi Rp71 Triliun untuk 75.299 desa di Indonesia.

Semakin besarnya kucuran dana desa dan diperpanjangnya jabatan kepala desa tentu sesuatu yang menjadi tuntutan dan harapan dapat semakin profesional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggung jawab, meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum yang dilakukan oleh Pemerintahan Desa (Pemdes).

Mengingat selama ini manfaat tersebut masih belum maksimal dirasakan oleh masyarakat, justru semakin meningkatnya masalah – masalah penyimpangan penggunaan dana desa serta sulitnya masyarakat untuk dapat mengetahui informasi penggunaan dana desa secara profesional dan transparan, peran penting masyarakat untuk ikut mengawal penggunaan dana desa baru sebatas tagline/ jargon untuk membangun citra kepada masyarakat bahwa pelayanan publik yang dijalankan pemerintah desa sudah bergerak ke arah yang lebih baik.

Didasari hal di atas maka munculah gagasan sederhana Forum Masyarakat Desa atau FORMADES yang dicetuskan oleh Junaidi Farhan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPM) Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung bagaimana masyarakat bisa bersatu guna meningkatan kepedulian terhadap pembangunan di desa terutama bagaimana masyarakat dapat ikut serta berperan aktif dalam mengawal dan terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desanya.

Gagasan sederhana membentuk Forum Masyarakat Desa atau FORMADES yang berawal dari diskusi – diskusi kecil di daerahnya tersebut kemudian dipublikasikan melalui media sosial (MEDSOS) dan diluar dugaan hal tersebut mendapat respon besar dari masyarakat pengguna medsos secara nasional.

Sehingga gagasan sederhana tersebut berubah menjadi keinginan bersama masyarakat membangun Formades secara nasional sebagai wadah berhimpunnya banyak tokoh dan masyarakat untuk ikut serta dan peduli terhadap pembangunan desa terutama ikut mengawal dana desa.

Dalam rilisnya Junaidi Farhan pencetus gagasan pembentukan Forum Masyarakat Desa atau FORMADES menjelaskan, “ dua hal yang mendasari kami menggagas Forum Masyarakat Desa atau FORMADES ini yaitu belum maksimalnya pelaksanaan tata pemerintahan desa sebagaimana amanat undang – undang dan peraturan – peraturan yang berlaku, sebagai contoh masih sulitnya masyarakat mendapat informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa dan penggunaan dana desa yang semakin hari akan ada pemberitaan media mengenai dugaan – dugaan korupsi dana desa atau penyalahgunaan dana desa oleh oknum kepala desa dan aparaturnya, sehingga masyarakat semakin tidak peduli.

Kedua kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak berwenang bahkan banyak kasus – kasus dugaan korupsi dana desa yang dilaporkan masyarakat baik kepada inspektorat atau pun kepada aparat penegak hukum (APH) tidak ada kejelasan tindak lanjutnya, sehingga kami berpikir harus ada upaya memotivasi masyarakat untuk peduli dan mengawal penggunaan dana desa agar tepat sasaran dan sekaligus meminimalisir penyimpangannya”.

“Gagasan membentuk Formades ini kami diskusikan kepada kawan – kawan yang peduli terhadap pembangunan desa, lalu kami coba untuk menyampaikan pemikiran tersebut dengan memanfaatkan media sosial, diluar dugaan responnya sangat luar bisa belum sepekan gagasan ini sudah direspon oleh kawan – kawan daerah yang satu pemikiran, sehingga kami jalin komunikasi melalui media sosial dan saat ini sudah lebih dari 20 Provinsi yang menyatakan siap untuk membentuk Formades didaerahnya masing–masing,”. jelas Junaidi Farhan.

“Respon yang sangat besar tersebut kami tindak lanjuti dengan serius untuk mendirikan Formades sebagai lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang berbadan hukum resmi secara nasional, sekaligus kami berupaya untuk membenahi citra LSM yang sudah kadung divonis negatif oleh masyarakat umum. Kami mohon do’a dan dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia agar lembaga ini segera terbentuk kepengurusannya secara nasional sekaligus dapat bersinergi dan menjalin kerjasama yang baik dengan pemerintahan pusat, daerah hingga desa,” harap Junaidi. (*)