Bandar Lampung —- Wakil Gubernur Jihan Nurlela menegaskan bahwa penegakan hukum di era modern tidak lagi semata-mata berbicara tentang aspek pembalasan (retributive), melainkan harus mengedepankan pendekatan humanis dan hati nurani. Hal ini menjadi urgensi utama dalam implementasi Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di Provinsi Lampung, khususnya dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkoba.

​Penegasan tersebut disampaikan Wagub Jihan saat menghadiri Penandatanganan Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi Lampung dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung tentang Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial dan Optimalisasi Keadilan Restoratif, yang berlangsung di Gedung Pusiban, Kamis (11/12/2025).

​”Restorative Justice adalah manifestasi kehadiran negara dan pemerintah secara nyata. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, peran manusia sebagai pengambil keputusan yang memiliki sanubari tidak bisa digantikan. Kesepakatan hari ini membuktikan bahwa pemerintah bukan hanya regulator dan penghukum, tetapi hadir dengan hati nurani untuk memberikan kesempatan kedua,” ujar Wagub Jihan.

​Menurut Wagub Jihan, lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional menjadi momentum reformasi hukum besar. Regulasi ini mengakomodir pemidanaan alternatif seperti pidana kerja sosial (Pasal 51 dan Pasal 65), di mana penyalahguna narkoba dipandang sebagai individu yang membutuhkan pemulihan, bukan sekadar pelaku kriminal.

​”Tujuannya sederhana, membantu mereka menemukan jalan baru yang lebih sehat dan layak. Urusan narkoba menyentuh banyak sisi kehidupan, mulai dari kesehatan fisik, mental, hingga masa depan keluarga,” tambahnya.

Wagub Jihan menginstruksikan kepada seluruh Kepala Daerah di 15 Kabupaten/Kota untuk segera menduplikasi semangat kolaborasi ini. Ia meminta para Bupati dan Walikota untuk menjalin kerja sama erat dengan Kejaksaan Negeri, BNN, dan Kementerian Agama di wilayah masing-masing.

​Pemerintah Provinsi Lampung sendiri telah menyiapkan sarana pendukung rehabilitasi dan lokasi pelaksanaan pidana kerja sosial. Sanksi sosial ini nantinya akan disesuaikan dengan keahlian pelaku, sehingga memberikan efek korektif sekaligus edukatif dan kontributif bagi pembangunan daerah.

​”Saya berharap para Bupati dan Walikota meneruskan semangat ini. Pastikan kerja sama ini tidak berhenti pada seremonial atau slogan semata, tetapi menghasilkan dampak nyata berupa Lampung yang aman, tertib, dan bebas narkoba,” pungkas Wagub Jihan.

​Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Asep Nana Mulyana memberikan apresiasi tinggi kepada Pemerintah Provinsi Lampung di bawah sinergi Gubernur dan Wakil Gubernur. Ia menilai Lampung sebagai pelopor inovasi hukum karena menjadi provinsi pertama yang menerapkan kolaborasi hexa helix dalam ekosistem peradilan restoratif, dengan melibatkan BNN dan Kementerian Agama secara bersamaan.

​”Saya sudah berkeliling ke-28 provinsi, dan baru di Lampung kegiatan ini melibatkan BNN dan Kementerian Agama sekaligus. Ini inovasi yang sangat baik. Kita harus meninggalkan paradigma kolonial, penjara bukan lagi instrumen utama penyelesaian masalah,” tegas Jampidum.

Salah satu poin krusial dalam KUHP baru adalah pengenalan Pidana Kerja Sosial sebagai alternatif pemidanaan. Jampidum menjelaskan bahwa sanksi ini tidak semata-mata berupa kerja fisik seperti membersihkan selokan atau jalan, melainkan harus disesuaikan dengan keahlian dan profil pelaku tindak pidana.

​”Bentuk kerja sosial disesuaikan dengan profil pelaku. Jika pelakunya Sarjana Teknik, dia bisa dihukum merawat mesin atau ambulans desa. Jika latar belakangnya administrasi, bisa membantu merapikan arsip desa. Ini memberikan efek korektif sekaligus edukatif bagi masyarakat,” jelasnya.

​Jampidum juga mengingatkan bahwa pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh mematikan mata pencaharian utama pelaku. Pelaksanaannya dapat dilakukan di akhir pekan atau dengan sistem mencicil jam kerja sosial yang telah diputus oleh pengadilan.

Sementara itu, Kajati Lampung Danang Suryo Wibowo menyebutkan bahwa sesuai dengan Pasal 85 KUHP Nasional, pidana kerja sosial dapat diterapkan bagi terdakwa dengan ancaman pidana di bawah 5 tahun, dan vonis hakim paling lama 6 bulan penjara atau denda maksimal Rp10 juta. Namun, pelaksanaannya membutuhkan sinergi kuat antara aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.

​Dalam kerja sama ini, Pemerintah Daerah berperan vital dalam menyediakan fasilitas umum sebagai lokasi pelaksanaan sanksi, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun pengelolaan lingkungan hidup.

​”Kejaksaan mengajak pemerintah provinsi dan daerah untuk saling mendukung dalam penyediaan lokasi, pengawasan, serta pencatatan hasil kerja. Sehingga, terpidana nantinya dapat berkontribusi sesuai dengan arah kebijakan pembangunan daerah, baik secara fisik maupun sumber daya manusia,” tambah Kajati. (Dinas Kominfotik Provinsi Lampung).