BANDARLAMPUNG – Penasehat Hukum (PH) terdakwa Anta Kesuma bin Arifin, Syamsul Arifin, S.H., M.H., berharap majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kalianda yang dipimpin Galang Syafia Arsitama, S.H., M.H., dapat membuat putusan “progresif”. Ini mensikapi tuntutan 16 tahun penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Lampung Selatan (Lamsel), Rio Dwiputra, S.H., terhadap kliennya Anta Kesuma.
“Saya harap, nantinya putusan majelis hakim PN Kalianda dapat progresif. Yakni putusan yang tak hanya formalitas. Tetapi benar-benar mempertimbangkan semua fakta dipersidangan serta memperhatikan nilai keadilan dan kemanusiaan. Bukan putusan yang hanya mengambil zona nyaman dan zona aman, sekedar mengiyakan dan melegalisasi praktek kinerja JPU dan penyidik polisi karena ada rasa sungkan sebagai sesama aparat penegak hukum (APH),” terang Syamsul Arifin, Kamis, 31 Juli 2025.
Mengapa ini perlu ditegaskan ? Sebab, dalam perkara ini urai Syamsul Arifin, ada kesan JPU emosional dan mengeyampingkan fakta-fakta dan berbagai kejanggalan yang terungkap di persidangan.
“Karena saya yakin sekali klien saya ini tak melakukan pencabulan anak di bawah umur sebagaimana yang didakwakan JPU,” tegasnya.
Hal ini dapat terlihat dan terungkap selama jalannya persidangan. Dimana keterangan saksi korban, RK, dinilai sangat “meragukan”. Ada kecenderungan kesaksiannya kerap tak konsisten dan selalu berubah-rubah.
Apalagi dari hasil pemeriksaan saksi ahli dalam hal ini psikolog klinis, Anggun Dwi Cahyani, M.Psi, Psikolog, didapati jika secara kemampuan, saksi korban memiliki hambatan dalam berpikir secara logis. Sehingga diperkirakan kurang mampu mengingat peristiwa secara detail.
Kemudian secara emosi, saksi korban cenderung didominasi dorongan ketidaksadaran atau kurang mampu mengontrol dorongan agresi, sehingga belum cukup mampu dalam kematangan secara emosi.
“Bahkan terungkap dipersidangan jika saksi korban, ada kecenderungan berprilaku seperti perempuan,” ujar Syamsul Arifin.
Lalu terkait adanya saksi fakta, yakni saksi Boyman Bin Sadimun, yang mengaku melihat terdakwa masuk dilokasi tempat kejadian, inipun ada kejanggalan. Dimana di pemeriksaan pertama di polisi tanggal 23 Desember 2024, saksi dengan tegas menyatakan tak melihat terdakwa datang ke pabrik saat dia sedang berjaga sejak hari Minggu, 6 Oktober 2024 sampai hari Senin, 7 Oktober 2024.
Keterangan ini dikuatkan dengan adanya berita acara sumpah tanggal 23 Desember 2024 dihadapan penyidik Ipda. Adek Suci Pebrianto, S.H., serta saksi Brigpol. Augia Mantafani, S.H., dan Brigpol. Deni Hermawan, S.H.
“Tapi tiba-tiba keterangan berubah. Ketika saksi kembali dipanggil dan diperiksa polisi tanggal 25 Februari 2025. Dimana saksi berbalik berubah dan menerangkan melihat terdakwa membonceng saksi korban masuk ke areal pabrik sekitar pukul 15.00 WIB, saat dia sedang berjaga sejak hari Minggu, 6 Oktober 2024. Inikan jelas aneh dan sangat meragukan.
Yang bohongnya mengatakan tersangka/terdakwa melihatnya masuk melewati pintu pos 1 yang faktanya tidak pernah dibuka dan selalu terkunci pada setiap hari Minggu sebagaimana disebutkan sebagai tempus delictinya.
Keterangan saksi tersebut berubah, setelah polisi melakukan penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa yaitu sejak 30 Desember 2024, selama lebih dari 50 hari. Inikan janggal. Kami menduga, saat terdakwa ditangkap ternyata belum didapat saksi fakta. Bahkan saat ditanya, saksi Boiman melihat terdakwa memakai baju warna apa, saksi malah mengaku tidak ingat,” terang Syamsul lagi.
“Terhadap kesaksian Boiman yang patut diduga palsu tersebut keluarga terdakwa akan melaporkan yang bersangkutan ke Bareskrim agar penanganan perkaranya maksimal,” papar Syamsul Arifin, S.H., M.H.
Apalagi, terungkap juga dipersidangan jika orangtua korban, yakni Heri Kurniawan, pun dalam kesaksiannya persidangan mengaku jika dari awal dirinya memang meragukan dan merasa tidak percaya adanya peristiwa pencabulan tersebut.
Tapi nyatanya JPU tetap berkeyakinan pristiwa ini terjadi dengan berdasarkan hasil visum et revertum (VER). Padahal saksi dr. Chaterina yang mengeluarkan VER sendiri tak pernah bisa dihadirkan kepersidangan untuk dimintakan keterangan guna mengungkap kebenaran materil perkara ini, dengan dalih dan alasan yang menurutnya tak rasional dan terkesan tak menghormati jalan sidang yang dipimpin yang mulia majelis hakim.
“Jadi bagaimana JPU bisa yakin dengan hasilnya. Kami justru menduga, JPU hanya ingin menjadikan surat visum dan keterangan ahli lain termasuk saksi ahli poligraf yang juga tak bisa dihadirkan secara fisik diruang sidang untuk digali keterangan dan kemampuannya, hanya untuk “mempengaruhi” majelis hakim karena lemahnya alat bukti lain diperkara ini, termasuk ketidakberadaan saksi fakta yang dapat menunjukkan bahwa saudara Anta Kesuma sebagai pelaku,” tegas Syamsul lagi.
Syamsul juga menyentil soal keberadaan barang bukti (BB) berupa satu buah kaos bola anak-anak warna kuning dan satu buah celana bola anak-anak warna biru serta satu buah buku mutasi satpam tempat terdakwa bekerja, yang dilakukan tanpa izin dari Ketua PN Kalianda terlebih dahulu.
Penyitaan satu buah baju dan celana dilakukan polisi pada 9 Desember 2024. Lalu baru dimintakan permohonan penetapan sita ke Ketua PN Kalianda tanggal 12 Desember 2024 yang baru disetujui tanggal 16 Januari 2025.
Begitu juga dengan penyitaan buku mutasi oleh polisi. Dimana dilakukan pada 25 Februari 2025 dan baru dikeluarkan persetujuan oleh PN Kalianda tanggal 26 Februari 2025.
“Padahal prosedur penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin tertulis dari Ketua PN setempat,” tegas Syamsul Arifin.
Mirisnya BB yang disita, urai Syamsul Arifin, dinilainya tak ada hubungan dengan perkara ini. Tidak ada tanda-tanda. Misalnya ada sidik jari atau cairan sesuatu milik terdakwa di baju atau celana tersebut. Apalagi beberapa saksi yang dihadirkan juga mengaku tidak pernah melihat keberadaan BB itu dipakai atau dimiliki saksi korban.
“Begitu juga dengan BB buku mutasi. Didalam buku itu justru tertulis dan menegaskan jika terdakwa tak ada di lokasi saat peristiwa yang didakwakan terjadi yakni hari Minggu, 6 Oktober 2024 mulai dari pukul 12.00 WIB sampai dengan hari Senin, 7 Oktober pukul 07.00 WIB. Malah ditulis dan disebutkan dalam rentang waktu tersebut, di jelaskan kalau kondisi pabrik dalam situasi aman dan kondusif. Tak ada kejadian atau hal yang mencurigakan,” papar Syamsul Arifin.
Karenanya sangat aneh saja, meski semua berbagai fakta diatas sudah terungkap, tapi JPU tetap menuntut kliennya dengan pidana penjara 16 tahun dalam sidang tuntutan yang berlangsung Hari Kamis, 31 Juli 2025. Dengan alasan kliennya terbukti bersalah melanggar Pasal 81 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Nantinya semua fakta dan berbagai kejanggalan yang ada, akan kami rangkum dalam Pledoi, pembelaan yang kami sampaikan, Kamis, 7 Agustus 2025,” pungkas Syamsul.
Seperti diketahui, sebelumnya PH terdakwa dugaan pencabulan anak memilih walk out (WO) dari PN Kalianda, Selasa siang (17/6/2025) lalu. Sikap itu diambil sebagai buntut dari ketidakhadiran saksi ahli dari Pusat Labolatorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri ke ruang sidang.
Tim PH dari LBH Garuda Patimura terdakwa pencabulan anak Anta Kesuma bin Arifin sejak awal sidang telah menyampaikan keberatan atas tata cara persidangan yang hendak menghadirkan saksi ahli secara online. Namun, majelis hakim bersikeras melanjutkan sidang, Tim PH yang dipimpin Syamsul Arifin, langsung walk out dari ruang sidang.
“Mengapa pula mengakomodir manusia yang tidak menghargai hak terdakwa yang terancam pidana berat dengan pra-adjudikasinya yang abal-abal?” kata Syamsul Arifin.
Menurut dia, tidak lucu saksi ahli tak berani datang ke ruang sidang. Padahal mereka sudah berani-beraninya memeriksa tersangka di kamar Hotel Branti Lampung Selatan.
Saat itu, tersangka juga tidak didampingi oleh pengacara, ujar Syamsul Arifin, kepada awak media.
Selain dirinya, PH terdakwa Robinson Pakpahan, SH; Ziggy Zeaoryzabrizkie, SH, MH; Muhzani Zain, SH; David Sihombing, SH; dan Bukhori M, SH.
Kasus ini sudah berlangsung lama, pelaku tak merasa melakukan perbuatan tersebut. Anta Kesuma bin Arifin yang tinggal di Desa Candimas, Natar disangkakan pencabulan anak di bawah umur pada 6 Oktober 2024. (red)