LAMPUNG TIMUR — Ratusan warga yang tergabung dalam Serikat Petani Lampung, bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, menggelar aksi damai di Kantor Bupati Lampung Timur, Rabu (21/5/2025).

Aksi ini dilakukan untuk menyampaikan aspirasi dan mempertanyakan keabsahan sertifikat tanah yang dimiliki oleh pihak perorangan.

“Aksi damai pagi hari ini, kami selenggarakan karena kami merasa di wilayah kami ada mafia tanah,” ungkap Suparjo, koordinator aksi.

Menurutnya, tanah seluas 401 hektar yang sudah digarap bertahun-tahun ternyata bersertifikat atas nama pihak lain, bukan penggarap.

Menurut keterangan masyarakat, lahan sengketa tersebut berada di desa Sri pendowo dan delapan desa lainnya di kecamatan Bandar sribhawono lamtim, petani mengaku telah menggarap lahan tersebut secara turun temurun sejak puluhan tahun silam.

Formula dari terbitnya 182 sertifikat hak milik (SHM) di atas lahan yang telah digarap puluhan tahun oleh petani setempat, masyarakat menuding adanya praktek mafia tanah karena SHM tersebut terbit

Masyarakat menuding adanya praktek mafia tanah karena SHM tersebut terbit tanpa sepengetahuan mereka bahkan atas nama pihak lain,”yang diduga kuat terkait dengan jaringan mafia tanah.

Suparjo menyampaikan harapan agar Bupati Lampung Timur dan BPN dapat meninjau langsung dan menyelesaikan konflik tersebut. “Kami tidak ingin menambah daftar panjang masalah sosial masyarakat. Kami minta Bupati Lampung Timur turun ke lapangan dan BPN Lampung Timur menjadi lebih koperatif,” tambah Suparjo.

Di depan ratusan massa yang gelar aksi damai, Bupati Ela Siti Nuryamah menyatakan komitmennya untuk menjaga keamanan dan keadilan dalam penyelesaian polemik tanah di Lampung Timur. Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah siap menjadi penanggung jawab dan memediasi setiap permasalahan, termasuk yang terkait reforma agraria dan hukum.

Dalam pertemuan dengan perwakilan Aksi Damai Petani Lampung Timur, Forkopimda, dan pihak BPN, Ela mengatakan, “Kami akan terus melakukan pendampingan dan mencari solusi terbaik bersama masyarakat.” Ia pun menekankan bahwa nenek moyang warga telah menggarap tanah selama puluhan tahun, namun muncul sertifikat baru yang menimbulkan kebingungan.

Tahun 2021 lalu, BPN Lampung Timur telah menerbitkan 177 buku sertifikat atas tanah seluas sekitar 41 hektar dari total 401 hektar yang diajukan dalam program PTSL.

Meski demikian, Kepala BPN, Maslih Caniago, mengungkapkan bahwa proses penerbitan sertifikat ini harus mengikuti prosedur yang ketat dan telah memeriksa berkas-berkas permohonan dari Kepala Desa Wana.

Namun, ia menegaskan bahwa kewenangan memutuskan keabsahan surat-surat tersebut bukan di tangan mereka.

“Kami tidak tahu pasti siapa pihak yang menerbitkan surat tersebut. Bisa jadi ada kekurangan atau ketidaksesuaian prosedur,” katanya.

Ia juga menyampaikan bahwa keabsahan dari sertifikat bergantung pada dokumen yang dimiliki, meskipun tetap memungkinkan untuk ditinjau kembali jika bukti baru muncul. (Rusman Ali)