BANDARLAMPUNG – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kalianda yang terdiri Galang Syafta Arsitama, S.H., M.H. (ketua) serta Dian Anggraini, S.H., M.H., dan Nor Alfisyahr, S.H., M.H, masing-masing sebagai anggota, menjatuhkan vonis 14 tahun penjara terhadap terdakwa Anta Kesuma bin Arifin. Alasannya terdakwa dinilai terbukti melanggar Pasal 81 Ayat (3) Jo. Pasal 82 Ayat (2) dan Ayat (1) Jo. Pasal 76 Huruf (E) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan PP Pengganti UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. 

Lantas apa sikap Penasehat Hukum (PH), Syamsul Arifin, S.H., M.H., menyikapi vonis yang dibacakan hari Kamis, 21 Agustus 2025?

“Kami akan melakukan upaya hukum banding,” tegas Syamsul Arifin.

Menurut Syamsul Arifin, dia sudah membaca semua pertimbangan majelis hakim. Salahsatunya adalah, majelis hakim menilai jika bukti foto tangkapan layar, rekaman suara maupun video yang disampaikan sebagai bukti elektronik, tidak dapat diterima. Dimana majelis hakim mempertanyakan validitas, keabsahan, serta cara perolehan maupun keutuhan sumber data.

“Inikan aneh. Dari awal, kami memohon majelis hakim agar dilakukan pemeriksaan setempat. Tapi ditolak, karena alasan ketua majelis hakim Galang Syafta Arsitama, tidak ada biaya. Solusinya majelis hakim menyatakan memberi kesempatan kami untuk menyampaikan bukti foto tangkapan layar, rekaman suara maupun video untuk membantah semua dakwaan JPU. Lucunya begitu kami sampaikan, justru hakim seperti terkesan “tutup mata-tutup telinga”. Semuanya ditolak dengan alasan tidak ada pendapat seorang ahli yang memiliki kompetensi di bidangnya untuk menilai validitas, keabsahan, serta cara perolehan maupun keutuhan sumber data terhadap bukti-bukti yang kami berikan tersebut,” papar Syamsul Arifin.

Padahal diuraikan Syamsul Arifin, salahsatu tugas hakim adalah memvalidasi untuk memperjelas suatu peristiwa yang terjadi. Jika memang majelis hakim yakin kalau barang bukti yang disampaikan PH tidak benar, nyatakan saja semua bukti foto tangkapan layar, rekaman suara maupun video yang disampaikan tim PH itu, semuanya rekayasa atau palsu. Bila perlu, majelis hakim pun bisa melapor ke aparat penegak hukum.

“Bukan malah bersikap seperti ini. Mengabaikan semuanya. Padahal bukti elektronik ini, menurut kami sangat tak terbantahkan dan sanggup kami pertanggungjawabkan,” tegas Syamsul Arifin.

Parahnya terhadap bukti surat Visum Et Repertum, majelis hakim langsung yakin. Padahal saksi ahli yang mengeluarkan bukti surat itu tidak  pernah hadir dipersidangan.

“Kalau alasannya karena bukti surat itu dibuat secara resmi oleh seorang dokter berdasarkan keilmuannya, kami pun bekerja sebagai Penasehat Hukum juga berdasarkan keilmuan. Ada sumpah advokat. Jadi apa bedanya,” tanya Syamsul Arifin.

Selain itu, Syamsul Arifin menyorot terkait sikap majelis hakim yang berkesimpulan jika perbuatan terdakwa telah menimbulkan trauma bagi anak korban. Pertanyaannya, bagaimana mungkin anak korban yang katanya trauma, namun selalu mengutarakan kerinduannya untuk bertemu dan bermain bersama dengan kakeknya (terdakwa). Serta selalu menegaskan jika kakeknya (terdakwa) adalah bukan orang jahat.

“Justru saksi korban RK mengaku telah didoktrin oleh oknum penyidik agar mengakui jika kakeknya adalah orang jahat. Ini tegas-tegas terdapat dalam bukti berupa chatts WhatsApp, Voices Notes (Pesan Suara) dan video yang telah disampaikan dan didengarkan di persidangan tapi justru diabaikan,” tutur Syamsul Arifin.

Antara lain, bukti ada pesan suara berisi perkataan saksi RK yang didengarkan didepan persidangan.

“Aku lagi di rumah bilang kakek suruh jemput aku. Sekarang ini aku udah gak betah lagi Disini”

“Kenapa Bunda nelpon polisi, soal itu kan aku sebelum tinggal tempat nenek itu, dah lama itu kan aku bilang pas bunda nelpon itu aku dah mau siap-siap aku mau sekolah, kakek itu gak jahat, kakek itu gak jahat, gak ngerti juga bunda itu”.

“Aku mau main ke tempat kakek, tapi sama ayah gak dibolehin”

Semua bukti-bukti ini jelas terlihat dalam bukti screenshoot/voice noted atau pesan suara percakapan dan keluh-kesah saksi korban dengan saksi cut devi (uncu, Tante, Bibi) melalui whatsaap yang sudah disampaikan bahkan diperdengarkan di muka persidangan.

“Tapi sekali lagi ini yang benar-benar aneh. Bukti flashdisk yang berisi rekaman suara dan video yang tim PH sampaikan tersebut ditolak. Yang ada majelis hakim justru meyakini kesaksian dr. Anggun Dwi Cahyani, M.Psi., psikolog karena ada sertifikasi. Padahal sudah jelas dalam BAP, saksi dalam memberikan keterangan telah ceroboh dan asal tandatangan. Padahal dibawah sumpah. Jadi bagaimana bisa diyakini kebenaran kesaksiannya,” ungkap Syamsul Arifin lagi.

Semua kejanggalan-kejanggalan ini, diantaranya nanti yang akan disampaikan dalam memori banding.

“Bahkan kami sedang mempertimbangkan untuk juga membuat pengaduan ke Bawas Mahkamah Agung,” tutup Syamsul Arifin.

Sebelumnya, terdakwa Anta Kesuma oleh JPU Rio Dwiputra dituntut 16 tahun penjara, hari Kamis, 31 Juli 2025. Alasannya terdakwa dinilainya terbukti bersalah melanggar Pasal 81 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam pembelaannya PH Syamsul Arifin, menilai tuntutan JPU ini telah mengabaikan kebenaran materiil dan rangkaian fakta persidangan. Dimana saksi yang dinarasikan sebagai korban yaitu RK secara jujur telah menerangkan tak pernah mengalami tindak kekerasan, diancam, pemaksaan atau sekedar dimarahi oleh terdakwa. Saksi RK malah kerap minta perlindungan dan kasih-sayang.(red)