JAKARTA – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito mengungkapkan, masih banyak masyarakat yang salah memahami tugas, fungsi, maupun wewenang DKPP. Karena, DKPP dianggap lembaga super power pengawas untuk tahapan pemilu, maupun mengawasi penyelenggara�pemilu.
“Banyak yang salah paham, DKPP itu dianggap sebagai pengawas, padahal sebenarnya kita adalah penjaga (kode etik penyelenggara pemilu),” kata Heddy, Rabu (22/3/2023).
Ia menjelaskan, DKPP dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya bersifat pasif sesuai dengan Pasal 159 angka 3 huruf c, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“DKPP tidak seperti�KPK. DKPP tidak bisa bekerja tanpa adanya pengaduan. Jadi kalau penyelenggara diadukan, baru kami bertindak,” jelasnya.
Heddy mengungkapkan, esensi dari sanksi DKPP bukan untuk menghukum penyelenggara Pemilu. Apakah itu sanksi peringatan, peringatan keras, pemberhentian sementara, pemberhentian dari jabatan, maupun pemberhentian tetap.
Sanksi DKPP dimaksudkan itu, diungkapkannya, untuk menjaga penyelenggara agar bekerja dalam koridor etika maupun hukum.
“Esensinya bukan menghukum penyelenggara Pemilu, tetapi menjaga penyelenggara agar tidak keluar dari koridor etika,” ungkapnya.
Terkait dengan anggaran, Heddy menyebut, saat ini masih melekat di Kementerian Dalam Negeri. Pada tahun 2023, alokasi anggaran DKPP sebanyak Rp26 miliar dan telah habis pada minggu kedua bulan Maret.
Menurutnya, kondisi tersebut berdampak pada operasional tugas dan fungsi DKPP, di mana DKPP tidak bisa melaksanakan sidang pemeriksaan di daerah. DKPP saat ini akan melaksanakan sidang secara virtual.
“Jadi minggu ini perkara di�DKPP tidak bisa disidangkan (di daerah) karena anggarannya sudah habis,” paparnya.(liputan6.com)