ANDA boleh percaya boleh atau tidak. Sejak mengelola koran ini terhitung 15 Mei 2017 lalu, ratusan atau mungkin ribuan caci-maki, hinaan, umpatan yang masuk di media sosial FB koran yang saya gawangi. Terutama dari pihak-pihak yang merasa keberatan terhadap pemberitaan yang kami tonjolkan.
Isi postingan pun luar biasa. Sadis dan cenderung tidak beradab. Mulai dari yang sifatnya ancaman dan intimidasi. Lalu kata-kata kotor yang menyebut saya seperti maaf alat kelamin dan kotoran. Ditambah lagi kata-kata yang menyamakan saya dengan nama-nama hewan seperti, Anjing atau Babi. Atau kata-kata yang berisi bahwa saya orang yang sedang berputus asa, frustasi, cari perhatian, sinting, gila dan sejenisnya.
Marahkah saya ? Tidak. Tak sedikitpun terbersit dihati saya untuk melaporkan �mereka-mereka� atau akun-akun gelap yang menyerang saya. Dari sekian caci-maki atau hinaan, hanya kata �OPOSISI SIAL� dan KORAN BAYI LAHIR� yang saya tanggapi. Inipun melalui tulisan. Saya tidak ingin melaporkan ke aparat ke polisian dengan delik atau tuduhan melakukan pencemaran nama baik, misalnya.
Mengapa ? Karena saya tidak ingin waktu terbuang secara percuma. Banyak kegiatan positif yang bisa saya lakukan daripada sekedar melayani rasa amarah dihati akibat menanggapi berbagai postingan negatif tersebut.
Jujur saya lebih memilih untuk menyiram bunga yang ditanam sang istri tercinta yang telah memberi saya dua orang putri yang cantik dan satu orang putra yang tampan. Atau setidaknya saya lebih memilih beraktifitas untuk mengantar-jemput dua putri saya tersebut ke sekolah yang kini masing-masing duduk di bangku sekolah menengah pertama dan bangku sekolah dasar di kawasan Sukarame, Bandarlampung.
Ini perlu saya ungkapkan lantaran saya tidak ingin waktu terbuang berjam-jam atau berhari-hari. Yakni untuk melapor dan menjalani pemeriksaan sebagai saksi di kepolisian contohnya. Atau melayani pertanyaan dan melakukan klarifikasi terhadap teman-teman, mengapa saya harus melapor dan menceritakan tentang kasus yang saya alami.
Demi Tuhan saya tidak mau. Prinsip saya sederhana. Saya tidak ingin melayani postingan atau cercaan dari orang-rang yang memiliki mental seperti itu. Semua tidak perlu ditanggapi, karena bisa membuat saya �sakit� sendiri.
Kecuali seperti yang pernah saya sampaikan jika masalah yang diungkapkan adalah menyangkut wilayah privasi. Misalnya soal aqidah atau kehormatan anak, istri saya. Bila ini terjadi, selembut-lembut atau setakut-takutnya saya, percayalah saya bisa dituntut �berani�.
Sebab, jika ini tidak saya lakukan, maka hilanglah apa yang disebut harga diri. Dan orang yang kehilangan harga diri, menurut saya kadar karatnya sama dengan makhluk mati. Selebihnya, saya pasrahkan saja ke sang Illahi mengenai kemungkinan yang bakal terjadi.
Karenanya saya termasuk kagum dan salut kepada Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P terkhusus kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unila, Dr. Syarief Makhya, M.Si.
Hanya gara-gara di kritik dan disebut �senyum bandit� dan �bandit tua�, di media sosial FB oleh staffnya Maruli Hendra Utama, S.Sos, M.Si, Dosen Sosiologi Fisip Unila, YTH Bapak Dekan kita ini merasa terhina. Tercabik-cabik harga dirinya. Sehingga harus membawa kasus ini ke ranah hukum. Dan membuat sang pengkritik menjalani pahitnya hidup di bui di Rutan Wayhui.
Padahal sebenarnya tugas Rektor dan Dekan Fisip Unila sangatlah berat. Mereka harus menjadi �manager� dalam mengelola kampus hijau Unila yang beraset mungkin triliunan rupiah dan membina lebih dari 25 ribu mahasiswa yang ada dengan segala problematikanya.
Untuk itulah rasa salut dan kagum ini perlu saya sampaikan kepada keduanya. Saya saja untuk menyampaikan laporan yang �menghina� diri saya pribadi diakun FB tidak sempat. Terhalang oleh kesibukan untuk mengantar atau menjemput dua buah hati saya tercinta bersekolah.
Sementara mereka tidak. Di sela-sela kesibukannya yang super padat, dari seminar ke seminar, terbang dari kota ke kota dalam rangka menjalankan tugas, tapi masih sempat saka �mengopeni� akun-akun FB yang dinilai mendiskriditkan dengan melapor ke aparat penegak hukum.
Mereka tidak peduli bahwa penerapan hukum pidana apalagi untuk kasus �sesederhana� ini harusnya bisa menjadi alternatif terakhir. Dimana tindakan penahanan dan menjebloskan tersangka hanya gara-gara mengkritik pimpinan perguruan tinggi adalah tindakan yang over dan berlebihan. Reaksi yang mengabaikan etika keilmuan di perguruan tinggi sebagaimana ditegaskan Sopian Sitepu, S.H., M.H., M.Kn., mantan dosen yang juga pernah mengabdi pada Fakultas Hukum (FH) Unila.
Akhir kata, sebagai alumni Unila saya perlu menyampaikan sekali lagi rasa salut dan kagum sekaligus rasa takjub dan hormat untuk Yang Tercinta Rektor dan Dekan Fisip Unila. Semoga TUHAN YME selalu memberi kita hidayah semua.(wassalam)