BANDARLAMPUNG – Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD menyatakan Wakil Walikota Bandarlampung, Yusuf Kohar terbukti melanggar undang-undang (UU) saat melakukan rolling pejabat di lingkungan pemkot. Para legislator sepakat menggunakan Hak Menyatakan Pendapat, yang bisa berujung pemakzulan.
Dalam sidang Paripurna DPRD, Selasa (16/19) lalu, Pansus Hak Angket mengusulkan Hak Menyatakan Pendapat atas dugaan pelanggaran Yusuf Kohar melakukan rolling pejabat kala menjabat Plt WalikKota. Hasilnya, tujuh fraksi di DPRD menyetujui usulan tersebut. Sedangkan Fraksi Demokrat, parpol tempat bernaungnya Yusuf Kohar, tidak memberikan pandangan tegas setuju atau tak setuju, melainkan ikut mekanisme.
Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPRD menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah. Hak ini bisa berujung sanksi terhadap kepala daerah yang disasar. Sanksinya bisa berupa teguran keras atau pemakzulan.
Yusuf Kohar, sendiri enggan berkomentar hasil Pansus Hak Angket yang menyebut kebijakannya melanggar aturan UU. Ia enggan menanggapi aksi DPRD yang menggunakan Hak Menyatakan Mendapat.
“Saya tidak mau berkomentar, saya lagi bekerja. Saya fokus kerja. “Sudahlah ya. Nanti saya hubungi,” kata Yusuf Kohar sebagaimana dilansir tribunlampung.co.
Pansus Hak Angket bermula adanya kebijakan Yusuf Kohar saat menjabat Plt Walikota Bandarlampung sekitar Februari lalu. Ketika itu, Yusuf Kohar melakukan roling sejumlah pejabat eselon.
Sementara itu, dalam rapat paripurna internal DPRD, Juru Bicara Pansus Hak Angket, Nu’man Abdi memaparkan hasil penyelidikan dan penyidikan selama satu bulan. Nu’man menyatakan Kohar melanggar sejumlah aturan, di antaranya Pasal 66 Ayat (1) huruf a angka 1.
Kemudian, Pasal 67 huruf d tentang kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan.Kohar juga disebut melanggar UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
“Saudara Yusuf Kohar juga terbukti melanggar Pasal 207 ayat 1 yang menyatakan hubungan kerja antara DPRD dan kepala daerah didasarkan atas kemitraan yang sejajar, diwujudkan dalam bentuk rapat konsultasi DPRD dengan kepala daerah. Sedangkan saudara Yusuf Kohar tidak pernah menganggap DPRD sebagai mitranya,” jelas Nu’man.
Ia mengungkapkan, keputusan ini merupakan hasil pemeriksaan 15 saksi dan konsultasi kami ke Kemendagri dan Mahkamah Konstitusi.
“Selanjutnya Pansus mengusulkan di paripurna ini menggunakan hak menyatakan pendapat atas dugaaan pelanggaran itu,” ucapnya.
Usai laporan, DPRD kembali menggelar rapat paripurna lagi pada sore hari. Rapat beragenda penggunaan Hak Menyatakan Pendapat ini turut dihadiri Walikota Bandarlampung, Herman HN.
Dari delapan fraksi di DPRD, tujuh di antaranya mendukung penggunaan Hak Menyatakan Pendapat atas dugaaan pelanggaran yang dilakukan Yusuf Kohar. Sedangkan juru bicara Fraksi Demokrat, Hendra Mukri, menyebutkan tidak menentang penggunaan hak DPRD. “Fraksi Demokrat menyatakan menghormati proses yang terjadi di DPRD, karena dinilai sudah menganut asas transparansi sesuai aturan,” ucap Hendra.
Sementara Herman HN menyatakan menghormati hak DPRD.
“Apabila itu telah sesuai peraturan yang berlaku, kami menghargai dan menghormati hak menyatakan pendapat yang disampaikan dewan yang terhormat ini,” kata Herman HN, dalam pidatonya.
Kirim ke MA
Nu’man mengatakan, surat keputusan Hak Menyatakan Pendapat nantinya disampaikan ke Mahkamah Agung. Kemudian MA akan memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah sudah sesuai dengan UU.
“Jadi, kita menunggu apa hasil MA. Jika putusan MA menyatakan pendapat DPRD itu benar, maka sanksinya tergantung dari DPRD. Kita menetapkan sanksi sesuai putusan MA itu. Dan sanksi terberat pemberhentian. Dan, kita merujuk saja kasus (mantan) Bupati Garut, Aceng Fikri, yang diberhentikan karena melanggar UU,” ujarnya.
Sanksi berdasarkan putusan MA itu, kemudian diajukan ke Mendagri melalui gubernur Lampung. “Ini sesuai PP Nomor 12 tahun 2018 tentang kewenangan DPRD dalam mengangkat dan memberhentikan kepala daerah, yang merupakan turunan dari UU 23 tahun 2014 itu,” katanya.
Terpisah, Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bandar Lampung, Budiman AS, menyayangkan sikap legislator kepada Yusuf Kohar. Ia menegaskan, Partai Demokrat menolak hak angket DPRD tersebut. Menurut dia, ada cara lain yang bisa dipakai DPRD.
“Terlampau jauh yang dilakukan DPRD. Hak angket itu kalau yang terpaksa sekali harus diambil. Ini kan komunikasi saja yang tidak lancar, jangan pakai hak angket itulah,” kata Budiman.
Meski demikian, mantan ketua DPRD Kota Bandar Lampung ini berharap semua pihak menahan diri, dan saling menghormati. Termasuk Yusuf Kohar menghormati sikap DPRD.
“Lembaga dewan harus dihormati. Kalau dipanggil DPRD itu harus datanglah, tetapi jangan pula karena kurang lancar komunikasi melakukan hak angket,” ucapnya.
Apakah ada indikasi pemakzulan? Budiman mengamininya.
“Kalau angket itu kan bisa mengarah ke sana, pemakzulan, seperti di Garut, tetapi kesalahannya kan beda. Ini administratif dan plt lain pun melakukan itu. Kalau darurat betul, baru hak angket,” kata Budiman.(net)