BANDARLAMPUNG – Praktisi hukum yang juga Ketua Umum Lembaga Transformasi Hukum Indonesia (THI), Wiliyus Prayietno S.H, M.H., memohon kepada Tokoh Budaya, Irjen.Pol Dr. Ike Edwin, S.H., M.H. Mantan Kapolda Lampung yang dikenal dekat dengan masyarakat ini diharapkan dapat terus mengawal penuntasan kasus Maskot Pilkada Monyet Pakai Baju Adat Lampung di Polda Lampung.
Selain itu, dengan ketokohannya sosok Ike Edwin yang dikenal sebagai penggiat anti korupsi, diharapkan dapat mendesak aparat penegak hukum dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI. Khususnya agar mengusut penggunaan anggaran serta profesionalitas KPU Bandarlampung.
“Jika bapak Ike Edwin turun langsung, kami yakin kasus ini akan dapat atensi aparat penegak hukum seperti Polda Lampung,” ujar Wiliyus Prayietno, Selasa, 28 Mei 2024.
Menurut Wiliyus, sosok Ike Edwin gelar Gusti Batin Raja Mangku Negara, diketahui memiliki kepedulian yang tinggi pada pelestarian budaya, serta dikenal sebagai tokoh anti korupsi.
“Karenanya, suara dan kepedulian beliau dapat terus mengawal kasus ini sangat diharapkan, agar dapat didengar dan ditindaklanjuti aparat penegak hukum,” mohon Wiliyus yang bersama Ike Edwin pernah bersama-sama mendaftar sebagai Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun yang lalu .
Seperti diketahui KPU Bandarlampung menetapkan tahapan Pilkada Serentak 2024 tanpa maskot. Ini guna menghindari polemik dan protes yang berkembang. Dimana maskot Pilwakot yang sebelumnya diluncurkan berupa hewan Kera atau Monyet mengenakan pakaian adat Lampung dianggap telah melukai dan menghina masyarakat adat. Sehingga memicu penolakan dan berujung pelaporan polisi.
“Saya mengapreasi sikap KPU Bandarlampung yang meniadakan maskot Pilkada Bandarlampung guna meredam gejolak di masyarakat Lampung,” ujar Advokat Peradi Bandarlampung, Hengki Irawan, S.P.,S.H., M.H., Senin, 27 Mei 2024.
Meski demikian, menurut Ketua LSM Ketua Poros Pemuda Indonesia (PPI) Provinsi Lampung tersebut, KPU Bandarlampung tak bisa serta merta menghilangkan tanggungjawab. Misalnya terkait anggaran dana lomba maskot serta acara jalan sehat launching maskot dan jingle Pilkada yang pasti menguras anggaran keuangan negara.
“Jika begini sia-sia semua. Anggaran negara, uang rakyat terbuang dihambur-hamburkan percuma untuk pengadaan dan launching maskot pilkada yang akhirnya tak digunakan. Karenanya sudah sepantasnya aparat penegak hukum, baik Kejati-Polda lampung, atau Kejari- Polresta Bandarlampung mengusut penggunaan anggaran KPU Bandarlampung,” tegas Hengki Irawan.
Tak hanya itu. Hengki Irawan meminta DKPP) RI untuk juga memeriksa KPU Bandarlampung terkait etika dan profesionalitas kinerja mereka.
“Bagaimana bisa KPU menggelar lomba menetapkan maskot Pilkada. Lalu mengadakan launching maskot dan jalan sehat meriah dengan anggaran fantastis. Terus kemudian maskot-nya ditiadakan. Ini menunjukan KPU Bandarlampung tak profesional. Untuk diingat anggaran yang dipakai buat itu semua, anggaran negara, uang rakyat, bukan milik nenek moyangnya. Jadi sudah sepantasnya juga DKPP RI pro-aktif memeriksa masalah ini,” pungkasnya.
Penyelesaian polemik pemilihan hewan kera yang dijadikan maskot Pilkada dengan diundangnya beberapa tokoh adat Lampung Saibatin dan Pepadun di hotel oleh KPU sendiri justru menuai kecaman. Tak tanggung-tanggung keprihatinan disampaikan Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Lampung, H. Syabirin HS Koenang, SH, MH Gelar St. Ratu Sepulau Lampung.
“Ini sebenarnya masalah kecil. Jika bicara hukum, masalah ini bisa selesai musyawarah mufakat. Tapi jujur langkah KPU seperti politik zaman belanda. Terkesan adu domba antara tokoh adat dan masyarakat Lampung,” tegasnya, Minggu, 26 Mei 2024.
Menurut Syabirin, dia sangat prihatin dengan langkah KPU yang bisa memicu konflik baru. Dijelaskan, eksistensi Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) diakui dan tertulis di lembaran negara. Antara lain tertuang di Peraturan Gubernur No3/2013. Tercatat di Kepmenkum-HAM Nomor AHU.0011970.0107/2019 Tertanggal 27 Desember 2019 serta Kesbangpol Pemprov Lampung Nomor 210/044/IV/VII.1/2019. MPAL pun pernah diketuai oleh Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP.
“Meski begitu, saya atau kami, tak berani secara serampangan membawa nama adat. Semua harus diputuskan secara adat dalam menentukan sikap atau pengambilan keputusan,” ujarnya.
Mengapa ? Sebab, sangat perlu menjaga keharmonisan semua pihak. Dimana ada sedikitnya 62 marga di Lampung. Pepadun dan Saybatin. Mulai dari Martapura sampai Selat Sunda.
Pertanyaannya lanjut Syabirin, apa legal standing perwakilan tokoh adat yang diundang KPU di Hotel Shreraton. Apa sudah mewakili ke 62 marga. Misalnya mengatasnamakan Megow Pak Tulang Bawang, Agung Siwo Mego Abung Saibatin, Melinting Pesisir dan lain-lain.
“Artinya tidak tercermin. Ini namanya politik zaman penjajahan Belanda. Politik adu domba antar tokoh adat serta masyarakat Lampung. Mirisnya lagi yang pelapor atau pengadu masalah ini di kepolisian ini siapa, tapi yang berdamai malah siapa,” sesal Syabirin HS Koenang.
Syabirin pun mengaku jika perwakilan KPU pernah menemuinya. Saat itu dia memberikan saran. Agar KPU mengaku salah, minta maaf pers rilis di media serta dilakukan perdamaian adat.
“Tiba-tiba malah ada “perdamaian” dengan diundangnya beberapa tokoh adat oleh KPU di hotel. Saya tak masalah siapapun yang diundang. Tapi sekali lagi, yang saya pertanyakan apakah sudah mencerminkan perwakilan 62 marga di Lampung, jika tidak, saya prihatin. Ini yang namanya politik memecah belah. Politik adu domba antara tokoh adat dan masyarakat Lampung,” pungkasnya.(red)