BANDARLAMPUNG � Adanya penahanan Maruli Hendra Utama, S.Sos, M.Si lantaran mengkritik Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. beserta Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unila, Dr. Syarief Makhya, M.Si, mendapat sorotan. Mereka menyesali mengapa penahanan ini bisa terjadi. Alasannya penerapan hukum pidana apalagi untuk kasus �sesederhana� ini harusnya bisa menjadi alternatif terakhir.

�Tindakan penahanan dan menjebloskan tersangka hanya gara-gara mengkritik pimpinan perguruan tinggi adalah tindakan yang over dan berlebihan. Reaksi yang mengabaikan etika keilmuan di perguruan tinggi,� tegas Sopian Sitepu, S.H., M.H., M.Kn.

Adokad yang memimpin Kantor Hukum SOPIAN SITEPU & PARTNERS yang memilih mundur dari status Aparatur Sipil Negara (ASN) Unila inipun menyesali mengapa kasus ini bisa terjadi.

�Sebagai mantan dosen yang juga pernah mengabdi pada Fakultas Hukum (FH) Unila saya menyesalkan adanya pelaporan hingga berujung pada penahanan terhadap tersangka Maruli,� tegasnya lagi.

Mengapa ? Karena menurut mantan Ketua Bidang Bantuan Hukum pada Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Unila ini, seorang pimpinan institusi, apalagi sekelas rektor atau dekan, harusnya dapat melakukan upaya mendidik dan mengayomi. Jika memang ada yang berbeda, misalnya ada yang mengkritik harusnya disikapi secara dewasa dan bijaksana.

�Sama hubungannya seperti ayah dengan anak. Harus bijak memberikan sanksi. Tidak boleh over langsung melapor ke aparat penegak hukum. Apalagi ini dunia pendidikan, dunia akademisi dan intelektual. Ini menandakan tidak adanya hubungan batin, hubungan emosional antara pimpinan dan staf. Dan yang dirugikan tentunya adalah nama baik kampus Unila secara umum,� tuturnya kembali.

Seperti diberitakan, Maruli tersangka yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Sosiologi Fisip Unila dijebloskan ke penjara Rutan Wayhui setelah dilaporkan Dekannya sendiri, Syarief Makhya. Dalam perkara ini, Maruli dituduh melakukan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik. Yakni penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media sosial (facebook). Atas perbuatannya, dia dijerat pasal 51 (2) jo pasal 36 UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Kedua pasal 45 (3) jo pasal 27 (3) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No. 11 Tahun 2008. Dan ketiga pasal 311 (1) KUHP. Serta keempat pasal 310 (2) KUHP.

Menurut Penasehat Hukum Maruli, Hendri Adriansyah, S.H.,M.H, Jumat (20/10)., kliennya sangat tabah dan sabar menghadapi penzholiman yang terjadi terhadapnya. Dilanjutkannya Maruli yakin apa yang dilakukan merupakan kebenaran.

�Klien saya tidak menyesal atas perbuatannya. Kampus menurutnya adalah sumber kebaikan, mata air bagi norma dan nilai-nilai moralis. Menjadi panduan dalam kerangka membangun karakter yang berintegritas,� jelas Hendri menirukan ucapan Maruli.

Diuraikannya, Maruli tidak mau minta maaf, karena tulisan di media sosial facebook menurutnya lahir dari kesadaran menjadi benar. Bukan kekhilafan. Dia menolak kompromi, karena kampus diposisikannya sebagai sumber kebaikan.

�Jadi adalah keliru menciptakan atmosfer akademik dengan menggunakan pendekatan kekuasaan yang penuh muslihat dan konspirasi,� ujar Maruli sebagaimana ditirukan Hendri.

Kasus ini papar Hendri bermula saat 19 Oktober 2016, kliennya melalui surat melaporkan Dadang Karya Bakti yang saat itu menjadi anggota Senat Fisip Unila ke Dekan Fisip Unila, Syarief Makhya atas dugaan pemerasan. Dekan merespon, dan melalui Ketua Jurusan Sosiologi memanggil Maruli.

Atas pemanggilan ini, Maruli menghadap dekan dan menceritakan pemerasan yang dilakukan Dadang. Dekan menjawab tidak mengetahuinya dan menyarankan Maruli melapor ke Bawaslu sembari berkata jika wewenang mencopot Dadang sebagai anggota senat ada pada Ketua Jurusan Administrasi Bisnis.

Maruli menindaklanjutinya dan membuat surat ke Kajur Administrasi Bisnis yang ditembuskan ke anggota senat Universitas dan Fakultas di Unila. Beberapa hari kemudian, Kajur Administrasi Bisnis bertemu Maruli dan mengatakan dia tidak punya wewenang.

Karena di fakultas, Maruli diabaikan, maka dia pun menghadap Rektor Unila dan menceritakan permasalahan tersebut. Rektor berjanji menindaklanjuti. Janji Rektor dimuat di media online 14 November 2016. Pada media sama Dekan Fisip mengatakan tidak memiliki kewenangan menindaklanjuti laporan Maruli tersebut.

Namun ternyata laporan Maruli ini tidak ditanggapi. Sebab 17 Januari 2017, Dadang Karya Bakti justru dilantik menjadi Wadek III Fisip Unila.

Merasa kecewa dan marah karena memiliki pimpinan yang melindungi pelaku pemerasan, Maruli merasa tidak ada lagi tempat melapor. Dia pun menuliskan rasa kekecewaan pada akun facebook miliknya �Maruly Tea� yang menyebut Wadek III Fisip Unila yaitu Dadang Karya Bakti sebagai �bandit�. Kemudian Dekan Fisip Unila disebut �senyum bandit� dan Rektor Unila sebagai �bandit tua�.

Atas postingan ini, 27 Februari 2017, Maruly kemudian dilaporkan oleh Syarief Makhya ke Polda Lampung.(red)