JAKARTA – Pertemuan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPR Bambang Soesatyo memunculkan wacana pengembalian pilkada melalui DPRD lewat revisi Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Seusai bertemu, Tjahjo mengatakan, dirinya dan Bambang beserta Pimpinan DPR lain seperti Fahri Hamzah dan Utut Adianto sempat terlibat diskusi mendalam terkait pengembalian pilkada ke DPRD.
“Nah, saya kira ini tahun depan pilkadanya sudah selesai serentak. Pak Ketua (DPR) menawarkan revisi ulang Undang-undang Pilkada dan nanti akan bisa kami bicarakan,” kata Tjahjo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/4/2018).
“Pak Ketua (DPR) nanti akan ketemu dengan Bapak Presiden akan ketemu dengan KPU, Bawaslu dan semua pihak yang ada,” lanjut dia.
Hal senada disampaikan oleh Bambang. Ia mengatakan, banyak masalah yang dihadapi dengan adanya pilkada langsung. Beberapa di antaranya, yakni politik biaya tinggi yang kemudian memunculkan korupsi. Selain itu, menurut dia, pilkada langsung juga mengotak-ngotakan publik dalam identitas masing-masing golongan sehingga berpotensi memecah belah masyarakat.
“Untuk mendapatkan tiket saja harus mengeluarkan biaya yang luar biasa, belum kampanyenya, belum biaya saksinya. Belum biaya penyelenggaraannya hampir Rp 18 triliun. Nah, kalau itu digunakan untuk biaya pembangunan mungkin itu lebih bermanfaat,” kata Bambang.
Ia menambahkan, sedianya DPR sempat menyetujui pilkada melalui DPRD pada 2014 lalu, namun pemerintah membatalkannya melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Ia menyatakan, saat ini Indonesia sudah melewati dua kali pilkada serentak sehingga patut dievaluasi hasilnya. Nantinya, sambung Bamsoet, hasil evaluasi terkait pelaksanaan pilkada langsung akan dikembalikan ke masyarakat.
“Menurut saya, sudah baiknya kita melakukan kajian dan evaluasi karena kita tidak ingin pilkada serentak (langsung) ini membuat masalah baru bagi anak bangsa kita. Ya, kalau pilkada langsung lebih baik bermanfaat buat demokrasi kita, ya kita lanjutkan,” papar dia.
Tjahjo melanjutkan, banyaknya calon kepala daerah dan kepala daerah yang tertangkap karena korupsi juga menjadi pertimbangan dimunculkannya wacana pengembalian pilkada melalui DPRD. Ia mengatakan, jika banyak calon kepala daerah yang terjaring korupsi dan lantas terpaksa harus tetap dipilih karena menurut Undang-undang Pilkada yang bersangkutan tak bisa diganti, maka martabat pilkada yang demokratis itu dipertanyakan.
“Implikasi pilkada serentak ini, yang berbiaya tinggi yang akhirnya banyak para calon yang kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK. Apakah ini proses pilkada yang demokratis? Apakah ini yang bermartabat?” ucap Tjahjo.(net)