JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait kewajiban cuti petahana yang diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Uji materi tersebut diajukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ketika masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Ahok maju sebagai calon gubernur DKI dalam Pilkada 2017. Putusan ini disampaikan oleh Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang putusan yang digelar di MK, Jakarta Pusat, Rabu (19/7/2017).
“Menolak permohonan pemohon,” kata Arief saat membacakan amar putusan.
Untuk diketahui, ketika mengajukan uji materi, Ahok beralasan bahwa cuti bagi petahana menghambat jalannya program kerja. Sebab, dirinya menjadi tidak bisa mengawasi pelaksanaan penyusunan anggaran dan penandatangan program-program yang akan berjalan.
Selain itu, kewajiban petahana cuti saat kampanye telah menyebabkan adanya perbedaan kedudukan di dalam hukum, yakni terkait dengan masa jabatan petahana dan masa jabatan presiden. Dengan adanya aturan cuti bagi petahana selama kampanye, menurut dia, masa jabatan petahana kemungkinan berkurang. Hal ini berbeda dengan masa jabatan presiden. Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, presiden yang kembali mengikuti pemilu tidak diharuskan cuti selama masa kampanye sehingga masa jabatannya tidak berkurang.
Namun demikian, MK menilai permohonan yang diajukan tidak beralasan menurut hukum. “Permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,” kata Arief.
Adapun salah satu pertimbangannya, MK menilai, ketentuan cuti bagi petahana bertujuan mengantisipasi potensi penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang oleh petahana selama mengikuti pemilihan kepala daerah. Sementara salah satu syarat dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang demokratis adalah kesetaraan antarpeserta.
UU pilkada jelas mengatur bahwa pelaksanaan pilkada harus mencerminkan netralitas dari tiap kontestan. Cuti kampanye merupakan bentuk netralitas calon petahana yang maju dalam pilkada.
“Meskipun kasus penyelewengan banyak terjadi, namun hukum tidak boleh menggeneralisasi. Di sisi lain, hukum juga tidak boleh menutup mata bahwa memang benar (pernah ada) terjadi penyelewengan,” kata Anwar Usman membacakan pertimbangan MK atas uji materi tersebut.
Sebelumnya mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) meminta MK menafsirkan ketentuan wajib cuti bagi pejabat, melalui permohonan uji materi Pasal 70 ayat (3) UU No 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
“Saya ingin meminta penafsiran bahwa petahana wajib cuti dalam ketentuan tersebut,” ujarnya dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (22/8) lalu.
Dalam permohonannya, Ahok menguji Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada yang berbunyi: “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan: a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya”.
Ahok beralasan bahwa Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada dapat ditafsirkan bahwa selama masa kampanye Pemohon wajib menjalani cuti. Padahal selaku pejabat publik, pemohon memiliki tanggung jawab kepada masyarakat Provinsi DKI Jakarta untuk memastikan program unggulan DKI Jakarta terlaksana termasuk proses penganggarannya.
“Saya dipilih secara konstitusi, maka saya harus bertanggung jawab terkait dengan hal itu,” katanya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Ahok sebagai pemohon berpendapat bahwa seharusnya ketentuan dalam Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada ditafsirkan bahwa cuti selama kampanye merupakan hak bagi petahana yang bersifat opsional. “Maka saya memilih untuk tidak mengambil hak cuti saya, dengan konsekuensi saya tidak akan berkampanye untuk menghindari penyalahgunaan wewenang,” jelasnya
Ahok menyebutkan bahwa pihaknya lebih memilih untuk menyelesaikan program unggulan DKI Jakarta serta membahas APBD DKI Jakarta. Ahok meminta MK untuk menyatakan bahwa materi muatan UU Pilkada Pasal 70 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa cuti sebagaimana termuat dalam materi muatan pasal tersebut adalah hak yang bersifat opsional dari Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama.
Sehingga, apabila hak cuti tersebut tidak digunakan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan turut serta dalam kampanye pemilihan kepala daerah.(red)