BANDARLAMPUNG � Aktifis lingkungan hidup menyesalkan adanya tuntutan dan vonis ringan kepada terdakwa Darma Wangsa. Pasalnya pelaku pengrusakan Tanaman Mangrove di Desa Hurun, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran ini hanya divonis tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang yang terdiri dari Hendro Wicaksono, S.H., Efiyanto D, S.H., dan Raden Ayu Rizkiyati, S.H., yang dibacaka hari Selasa, 29 November 2022 lalu.

Sebelumnya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kandra Buana, S.H., terdakwa hanya dituntut empat bulan penjara dan denda Rp5 juta rupiah subsidair 1 bulan kurangan penjara. Padahal dalam perkara ini terdakwa dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana �karena kelalaiannya terjadi kerusakan�ekosistem mangrove� sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 73 ayat 2 huruf (b) Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 Jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar rupiah.

�Kami sangat menyesalkan dan menyatakan keperihatinan yang mendalam atas adanya tuntutan dan vonis ringan terhadap terdakwa kasus pengerusakan lingkungan berupa Tanaman Mangrove di Desa Hurun, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran oleh JPU Kejati Lampung dan majelis hakim PN Tanjungkarang,� tutur aktifis lingkungan yang juga Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) Universitas Lampung (Unila), Yopi Nadama, Jumat (29/12).

Mengapa ? �Karena vonis ini sangat tidak sebanding dengan dampak yang akan terjadi akibat adanya kerusakan lingkungan tersebut. Selain itu, vonis ini tidak menimbulkan effek jera. Orang lain pasti nantinya akan meniru dan tidak takut untuk melakukan perbuatan serupa, mengingat hanya dihukum ringan,� tutur Yopi Nadama kembali.

Untuk itu, Yopi Nadama, mengajak para aktifis lingkungan khususnya yang ada di Lampung untuk bersatu. Dan bersama-sama mengkritisi adanya vonis ringan tersebut. Bila perlu melaporkannya ke Presiden RI Joko Widodo, Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung RI agar mereka dapat konsen memperhatikan vonis kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kelestarian alam.

�Apalagi butuh waktu yang lama mengembalikan kondisi hutan mangrove yang dirusak oleh terdakwa, seperti dalam kondisi sebelumnya. Bahkan dampak kerusakan bisa menyebabkan berbagai bencana yang dampaknya sangat merugikan masyarakat dan ekosistem yang ada,� ajak Yopi Nadama.

Kasus ini sendiri awalnya di laporkan oleh Yopi Nadama, Ketua�UKM� MAPALA Unila ke Polda Lampung. Bermula saat mereka melakukan kemah bersama di Pantai Ceper Desa Hurun Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran pada tanggal 25 September 2021 lalu.

Namun dalam perjalanannya ke lokasi, mereka melihat adanya dugaan pembalakan/pengrusakan hutan bakau atau kawasan hutan mangrove di pantai tersebut. Tepatnya pada koordinat (-5.5158045, 105.2507303). Selanjutnya UKM MAPALA Unila pun lantas melakukan investigasi berupa pengambilan gambar� foto dan video.�Serta mencari informasi siapa-siapa pelaku pengrusakan hutan mangrove tersebut. Setelah data dianggap lengkap, UKM MAPALA Unila pun kemudian melaporkan masalah ini ke Polda Lampung pada tanggal 15 November 2021.

Dari beberapa keterangan saksi di persidangan, diantaranya menjelaskan bahwa ada 14 titik yang dijadikan check point via GPS. Dari 14 titik itu hanya 5 titik yang masuk wilayah sertifikat hak milik terdakwa Darma Wangsa. Selanjutnya 9 titik berada diluar hak milik terdakwa yang telah melakukan pengrusakan hutan mangrove. Selain itu, saksi juga menjelaskan bahwa lokasi tersebut merupakan kawasan yang dilindungi menurut RTRW Kabupaten Pesawaran sesuai Perda No 06 tahun 2019.

Keberadaan hutan bakau menurut saksi harus dilindungi oleh siapapun. Ini bukan masalah tapal batas mengenai tanah. Namun siapapun pihak yang akan membuka usaha harus mengajukan dan mendapatkan izin terlebih dahulu.

Kemudian diterangkan juga bahwa garis sepadan pantai minimal 100 meter dari air pasang laut kearah darat adalah milik negara. Sehingga tidak boleh diterbitkan sertifikat hak milik.

Dalam kasus ini, terdakwa Darma Wangsa dijerat JPU melanggar pasal 73 ayat 1 jo pasal 35 huruf E, F dan G UU Nomor 1 tahun 2014 jo UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil sebagai dakwaan Pertama.(red/net)