Gedung Baru KPK

BANDARLAMPUNG – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat mengembangkan dugaan korupsi fee proyek di Lampung Tengah (Lamteng). Selain menetapkan tujuh orang tersangka baru, lembaga antirasuah itu mencegah dua orang diantaranya untuk bepergian ke luar negeri.

Dua tersangka yang dilarang ke luar negeri adalah pemilik PT Sorento Nusantara (PT SN), Budi Winarto alias Awi, dan pemilik PT Purna Arena Yudha (PT PAY), Simon Susilo.Keduanya dikenal sebagai miliarder di Bumi Ruwa Jurai.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengatakan, pencegahan terhadap Budi dan Simon dilakukan untuk kepentingan penyidikan. Keduanya dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan ke depan, terhitung per 24 Januari 2019.

“Untuk kepentingan penyidikan perkara ini pada tanggal 24 Januari 2019 KPK telah meminta kepada direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian untuk mencegah bepergian ke luar negeri selama 6 bulan ke depan, yaitu atas nama BW (Budi Winarto) pemilik PT SN, dan SS (Simon Susilo) pemilik PT PAY,” kata Alexander dalam konferensi pers di KPK, Jakarta, Rabu malam (30/1) malam.

Kasus ini merupakan hasil pengembangan dari perkara korupsi pinjaman daerah Pemkab Lamteng kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Mustafa, yang telah divonis 3 tahun penjara, memberikan “uang pelicin” kepada DPRD untuk memuluskan pinjaman tersebut.Adapun “uang pelicin” berasal dari calon rekanan, termasuk Budi Winarto dan Simon Susilo.

Berdasarkan hasil pengembangan, penyidik KPK menetapkan 7 tersangka baru. Mereka adalah Mustafa, Ketua DPRD Lamteng Achmad Junaidi Sunardi (Golkar), tiga legislator; Bunyana (Golkar), Zainuddin (Gerindra), Raden Zugiri (PDIP), serta pengusaha Budi dan Simon.

Dalam kasus ini, Mustafa diduga menerima suap dan gratifikasi Rp 95 miliar terkait proyek pengadaan di lingkungan Pemkab Lamteng tahun 2018.

KPK menduga Budi menyuap Mustafa sejumlah Rp 5 miliar terkait ijon proyek paket pekerjaan ruas jalan di Kabupaten Lamteng senilai Rp 40 miliar. Sedangkan Simon memberikan uang Rp 7,5 miliar kepada Mustafa sebagai fee 10 persen untuk ijon proyek paket pekerjaan peningkatan jalan di Lamteng senilai Rp 76 miliar.

Baik Budi dan Simon dikenal sebagai miliarder Lampung. Simon disebut-sebut memiliki saham di Hotel Sheraton Lampung. Sedangkan Budi banyak berkecimpung di bidang usaha konstruksi dan pengusaha batu split di Lampung.

Ketua Lembaga Transformasi Hukum Indonesia (THI), Wiliyus Prayietno, menuturkan, nama Budi dan Simon sudah tak asing di Lampung. Keduanya merupakan pengusaha kakap.

“Sepengetahun kami dari THI, keduanya banyak kenal dan dekat dengan pejabat di Lampung. Sepengetahuan kami Simon itu kakak kandung Ayin (Artalyta Suryani), dan punya saham di Hotel Sheraton. Kalau Awi (Budi) pengusaha batu,” kata Wiliyus, Kamis (31/1).

Sementara Humas Hotel Sheraton Lampung, Yuli Misna sebagaimana dilnsir dari tribunlampung.co, menyebut tidak ada hubungan Hotel Sheraton dengan Simon Susilo. Menurut dia, Hotel Sheraton Lampung bernaung di bawah PT Mutiara Artha Hotelindo.

“Dari data kita Sheraton itu tercatat punya perusahaan dengan nama PT Mutiara Artha Hotelindo, dan tidak ada nama Pak Simon,” ujar Yuli Misna, kemarin.

Sebelumnya, KPK menyebut Mustafa menerima total Rp 95 miliar dari 200-an calon rekanan sejak Mei 2017 sampai Februari 2018.

Sebesar Rp 12,5 miliar berasal dari Budi dan Simon. Uang itu merupakan fee dari ijon proyek di Dinas Bina Marga Lamteng dengan kisaran fee 10-20 persen dari nilai proyek.

Sebagian dari uang tersebut mengalir kemudian diberikan kepada DPRD untuk tiga tujuan.

Pertama, senilai Rp 1,825 miliar untuk memuluskan pengesahan APBD 2017. Lalu untuk pengesahan APBD 2018 dikucurkan Rp 9 miliar ke DPRD.

Terakhir, pengesahan pinjaman Pemkab Lamteng kepada PT. SMI sebesar Rp 1 miliar.(net)