Jakarta – Pemilik PT Bukit Alam Surya, Artalyta Suryani (Ayin) diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pemeriksaan ini Ayin dipanggil sebagai saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.
Menurut Penasehat Hukum (PH) Ayin, Sopian Sitefu, S.H.,M.H.,M.kn, pemeriksaan ini difokuskan pada adanya hubungan kekerabatan antara kliennya dengan Sjamsul Nursalim. Ikutnya di cecar juga seputar adanya pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terima oleh BDNI.
“Oleh ibu Ayin, dijelaskan semua bahwa pada intinya dia tidak mengetahui tentang adanya dana BLBI pada BDNI. Hubungan yang terjalin antara dirinya dan Sjamsul Nursalim, semata karena kekerabatan. Pemeriksaan sendiri berjalan koperatif. Ada tiga pertanyaan yang diajukan penyidik KPK,” terang Sopian Sitefu, ketika dikonfirmasi koran ini, kemarin
Atas pemeriksaan ini, KPK pun menganggap cukup. Namun demikian KPK berjanji akan melakukan pemeriksaan ulang bila ada informasi atau data-data yang dibutuhkan kembali.
“Dan dijawab oleh Ibu Ayin, bahwa dia akan sangat koperatif membantu KPK dalam mengungkap kasus ini. Bahkan kapanpun dilakukan pemeriksaan dirinya berjanji datang dengan membawa data atau informasi yang diperlukan,” jelas Sopian Sitefu kembali.
Untuk diketahui Ayin merupakan terpidana yang divonis lima tahun penjara dalam kasus suap ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung RI, Urip Tri Gunawan pada 2008 lalu. Saat itu Urip berstatus
sebagai Ketua Tim Penyelidikan kasus BLBI Sjamsul Nursalim.
Dari informasi yang dihimpun Ayin merupakan istri dari Surya Dharma salah satu bos PT Gajah Tunggal Tbk yang juga dikendalikan Sjamsul Nursalim. Ayin sudah lama mengenal Sjamsul Nursalim saat tinggal di Lampung.
Sjamsul Nursalim pun sempat meminta Surya Dharma dan Ayin untuk mengurus tambak Dipasena atau PT Dipasena Citra Darmaja. Dipasena merupakan tambak udang terbesar di Asia Tenggara saat menjadi milik Sjamsul Nursalim.
KPK sendiri telah menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-jakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali BDNI pada tahun 2004. Syafruddin mengusulkan SKL untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.
Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.(red/dariberbagaisumber)