BANDARLAMPUNG � Akademisi Universitas Lampung (Unila), Dr. Budiono, S.H., M.H., membantah mendorong Mantan Bupati Tulang Barat (Tubaba), Umar Ahmad maju sebagai Calon Gubernur Lampung periode 2024-2029 menggantikan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi pada pilkada serentak tahun 2024 mendatang. Hal ini diungkapkan Budiono menanggapi pemberitaan beberapa media online.

Menurut Budiono, dirinya memang hadir di acara diskusi pada hari Minggu, 12 Juni 2022. Selain dirinya, ada juga narasumber lainnya. Diantaranya, Dr. Yusdianto, Dr. Dedi Hermawan dan Darmawan Purba.

�Waktu itu sebagai narasumber, saya hanya memberikan pendapat sesuai dengan keilmuan saya sebagai ahli hukum tata negara, bukan ilmu politik,� tutur Budiono.

Dimana dalam paparannya Budiono menguraikan jika sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penafsiran periode masa jabatan kepala daerah adalah setengah masa jabatan atau lebih dianggap sama dengan 1 periode. Berdasarkan keputusan MK, maka Umar Ahmad, dinilai �masih punya hak maju pada pemilihan kepala daerah atau Bupati Kabupaten Tubaba dimana yang bersangkutan pernah menjabat. Pasalnya karena Umar Ahmad belum menjabat selama 2 periode masa jabatan kepala daerah/Bupati Tubaba.

�Pada saat diskusi saya tidak bicara medukung atau mendorong Umar Ahmad jadi Gubernur atau kepala daerah lain. Saya hanya menyampaikan bahwa Umar Ahmad masih punya hak menjadi calon Bupati Tubaba berdasarkan putusan MK,� tegas Budiono.

Apalagi lanjut Budiono, selaku akademisi dan ASN, dia tidak diperbolehkan untuk mendukung atau mendorong seseorang menjadi kepala daerah atau gubernur. Sebab seorang akademisi dituntut bersifat netral tidak memihak.

�Pada saat diskusi, saya sudah sampaikan ke moderator fokus pada tema diskusi. Bukan melebar kearah dukung mendukung atau mendorong seorang menjadi gubernur atau kepala daerah karena kami sebagai nara sumber adalah akademisi dan ASN harus bersifat netral,� tandas Budiono.

Seperti diberitakan website �lampung.rilis.id, masa jabatan Umar Ahmad sebagai Bupati Tubaba menjadi polemik.�Pasalnya, meski telah menjadi bupati Tubaba dua periode, total kurun waktunya hanya 6 tahun 7 bulan.�Diketahui,�Umar Ahmad diangkat sebagai bupati Tubaba melanjutkan sisa masa jabatan bupati sebelumnya, Bachtiar Basri.�Bachtiar terpilih menjadi wakil gubernur Lampung berpasangan dengan M Ridho Ficardo sebagai gubernur saat itu.

Umar kemudian, menjabat�2 tahun 5 bulan setelah disahkan sebagai bupati dari 5 Agustus 2014 dan berakhir 14 September 2016. Lalu, pada periode 2017-2022, Umar kembali terpilih menjadi bupati Tubaba, menang melawan ‘kotak kosong’.

Nah, persoalan ini yang dibedah dalam�diskusi yang digelar Perhimpunan Advokat Pro Demokrasi Lampung, dengan tema ‘Langkah Umar di Tubaba, Sudah Dua Periode Kah?’.

Diskusi yang digelar di Warta Coffee pada Minggu (12/6/2022) malam tersebut, menghadirkan empat akademisi Unila, yakni Budiono, Yusdianto, Dedi Hermawan, dan Darmawan Purba.�Dalam pembahasannya, Dedi�menilai, mantan Bupati Tubaba Umar Ahmad belum dua periode lantaran menjabat�tidak sampai 2,5 tahun sejak dilantik.

“Karena keputusan MK tentang periodesasi menyatakan hitungan tahun. Jadi beliau (Umar) bisa mencalonkan kembali sebagai bupati. Tapi saya berharap�bisa naik tingkat,” ujarnya.

Menurutnya, Umar merupakan pemimpin muda dengan prestasi luar biasa di provinsi Lampung. Juga memiliki gagasan dan visi positif.

“Secara politik kita harus memperbanyak stok tokoh seperti dia. Atau�bisa mencalonkan diri sebagai gubernur agar kemajuan daerah bisa dirasakan masyarakat dan di seluruh Provinsi Lampung,” katanya.

Begitu juga yang disampaikan pengamat Politik Darmawan Purba. Bila dilihat dari original konten yakni UUD 1945, satu periode itu 5 tahun, jadi kalau dua periode berarti 10 tahun.�Menurutnya, pengurangan masa jabatan 2,5 tahun merupakan problem konstitusional, termasuk untuk penjabat. Apalagi, kepala daerah itu dipilih bukan ditunjuk.

“Perihal mencalonkan kembali atau menjadi gubernur, tinggal kita lihat secara filosofis Tubaba yang butuh Umar atau Umar yang butuh Tubaba,” tandasnya.

Hal sama diungkapkan pengamat hukum Unila, Budiono. Menurutnya putusan MK terakhir itu sudah jelas mengenai pembatasan periode 2,5 tahun, sehingga tidak mungkin ada tafsir lain. “Dan MK tidak bisa memastikan kapan waktunya periode tersebut. Kalau kurang 2,5 tahun, berarti belum dua periode,” katanya.

“Menurutnya itu sudah tegas dan jelas, KPU sebagai penyelengara tidak bisa menafsirkan berbeda,” timpalnya.

Namun hal berbeda disampaikan Yusdianto yang juga pengamat Hukum Unila. Pada tahun 2020 dirinya ikut dalam pengujian UU terkait masa jabatan kepala daerah yang menguatkan durasi masa jabatan.

Ia mengungkapkan, menghitung masa jabatan satu periode itu, bukan secara tematik dengan menilai 2,5 tahun setelah dilantik atau bukan. Tetapi secara akademik, sejak menduduki jabatan.

“MK hanya mengeluarkan putusan batas periodesasi itu 2,5 tahun, nah yang menentukan sejak kapan ya Pemerintah,” katanya.

Sehingga menurut Yusdianto, apabila dilihat masa waktu jabatan, satu periode ditetapkan setelah menduduki jabatan tersebut artinya sudah satu periode.

“Jadi untuk apa lagi Umar di Tubaba, sudah waktunya ke tingkat gubernur, seperti doanya Anies Baswedan. Atau jangan-jangan jadi menteri,” tandasnya. (red/net)