METRO – “Suami saya hilang”. Begitu kutipan kisah yang diceritakan Yuliana dalam tragedi Talangsari tahun 1989.
Yuliana adalah isteri Sudirman KM, seorang wartawan senior surat kabar Lampung Post. Matanya berlinang haru saat diminta wartawan mengenang lagi kejadian di masa lalu.
Yuliana ditemui dirumahnya, di Jl. Imam Bonjol, Kel. Hadimulyo Barat, Metro Pusat oleh sejumlah pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).
Yuliana tak banyak cerita. Meski begitu, sepenggal kisah yang ia ceritakan cukup menggambarkan suasana mencekam di benak pendengar yang kesemuanya merupakan wartawan dan pemilik media.
“Suami saya hilang dari rumah, berhari-hari. Lampung geger dengan berita Tragedi Talangsari yang diterbitkan Lampung Post. Orang-orang baju loreng bolak-balik ke rumah, cari dia. Anak-anak masih kecil waktu itu,” kenang ibu Yuliana saat menceritakan masa-masa sang suami aktif melakukan aktivitas jurnalistik, Selasa (9/2/2021).
Sepak terjang Sudirman KM yang akrab disapa Bang Dirman tersebut tidak hanya ceritakan oleh sang istri. Juniornya yang kini menjadi Dewan Penasehat PWI Kota Metro juga turut berkisah.
- Darmanto, satu dari sekian banyak junior Bang Dirman di kala itu cukup banyak menyaksikan konsistensi Dirman dalam melakukan aktivitas jurnalistik sejak 1980.
“Tahun 1980 beliau memasuki dunia kewartawanan, sebagai biro pertama disalah satu surat kabar harian di Lampung. Ia konsisten dan fokus serta memiliki narasumber yang kuat,” ujar Darmanto.
Darmanto berpesan, sebagai pilar ke-4 NKRI pekerja pers wajib menyuguhkan tulisan yang berkualitas, dengan narasumber yang kuat, dan mengedepankan kode etik Jurnalistik sesuai amanat UU Pokok Pers nomor 40 tahun 1999.
Apresiasi atas kinerja Bang Dirman dimasa lalu, kini masyarakat Pers di Provinsi Lampung, khususnya di Kota Metro dapat menikmati hak atas kebebasan Pers tanpa bungkaman penguasa.
Kini, Bang Dirman sang peliput tragedi Talangsari pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur itu hanya dapat berbaring di tempat tidur.
Selama 3 tahun 2 bulan Bang Dirman menderita penyakit komplikasi Jantung dan Hipertensi. Kini, sebagai penerus pilar ke 4 demokrasi masyarakat Pers Kota Metro memberikan penghargaan kepada Bang Dirman yang juga merupakan Ketua PWI Kota Metro periode 2014 hingga 2017.
Dalam pemberian penghargaan dan cendramata tersebut, Ketua SMSI Kota Metro, Ali Imron Muslim menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Sudirman atas perjuangan dimasa lalu.
“Di Hari Pers Nasional ini kami dari PWI dan SMSI Kota Metro merayakan kegembiraan bersama di kediaman Bang Dirman. Beliau wartawan senior sekaligus sepuh, sebagai guru dan panutan kami,” ucap Ali.
SMSI bersama PWI menyerahkan cinderamata siluet wajah, karya Linang Kharisma, seniman galeri Kekasih Cahaya, Tejo Agung, Metro Timur. Terdapat simbolis peniupan lilin kue perayaan HPN dan HUT ke-75 PWI dihadapan Bang Dirman.
Sejarah mencatat, Tragedi Talangsari atau Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur yang kala itu wilayah tersebut masih masuk di Kabupaten Lampung Tengah.
Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantaian peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.
Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.
data dari berbagai sumber menyebutkan, kala itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam. Dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai “orang lokasi” sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar. (SAR)