BANDAR LAMPUNG — Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Provinsi Lampung Y. Ruchyansyah mengatakan, hanya dalam dua tahun, 2024–2025 sudah 8 kejadian konflik dengan binatang buas di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), 7 diantaranya meninggal dunia.

Sementara di Kabupaten Lampung Timur pada Juni 2025, sekelompok gajah memasuki area perkebunan di perbatasan Desa Braja Asri dan Braja Sakti, mengakibatkan kerugian materi yang besar.

Berdasarkan catatan sepuluh tahun terakhir, konflik manusia–gajah di Way Kambas rata-rata terjadi 185 kali per tahun di 13 desa terdampak, sedangkan di Bukit Barisan Selatan tercatat rata-rata 53 kejadian per tahun di 12 desa. Untuk konflik manusia–harimau, tercatat rata-rata 22 kejadian per tahun di 14 desa, dengan dampak kehilangan ternak sebanyak 192 ekor serta korban jiwa manusia.

Begitu dikatakan Kadishut dalam Rapat Koordinasi Tim Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar di Provinsi Lampung, di Ruang Rapat Sakai Sambaian, Kantor Gubernur Lampung, Rabu (13/8/2025

Menanggapi hal tersebut, Wakil Gubernur (Wagub) Jihan Nurlela mendorong langkah strategis dan terukur dalam menangani konflik antara manusia dan satwa liar yang dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat, khususnya sejak 2014.

Wagub mengakui bahwa forum koordinasi yang selama ini dibentuk belum berjalan optimal. Bahkan, masih terdapat pimpinan daerah yang belum mengetahui keberadaan forum tersebut. Menurutnya, kondisi ini menghambat upaya penanganan konflik dan perlu segera dibenahi.

“Forum koordinasi ini belum maksimal. SK Tim Koordinasi Penanganan Konflik Manusia–Satwa Liar yang dibentuk sejak 2021 perlu diverifikasi ulang. Anggotanya harus diperluas, termasuk melibatkan bupati/wali kota, media, dan akademisi,” ujarnya.

Ia menegaskan, keterlibatan akademisi sangat penting untuk melakukan riset berkala mengenai dinamika populasi satwa liar dan kondisi habitatnya. Data ilmiah dari riset tersebut akan menjadi dasar dalam merumuskan langkah penanganan dan kebijakan.

Selain penguatan kelembagaan, Wagub juga menyoroti pentingnya penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan mitigasi penanganan konflik. Selama ini, penanganan di lapangan sering terkendala saling lempar tanggung jawab antarinstansi. Dengan SOP yang jelas, akan ada pembagian tugas yang tegas, termasuk penentuan pihak yang harus bertindak pertama, langkah penanganan yang diambil, serta target waktu penyelesaian.

Dalam kesempatan ini pula, Wagub turut mendorong penyusunan mitigasi jangka panjang, antara lain pemetaan wilayah rawan, pemasangan tanda peringatan atau banner, serta pengawasan titik-titik hotspot.

“Kita juga harus mempertimbangkan pembagian wilayah kerja antara provinsi dan kabupaten/kota, terutama daerah yang memiliki kawasan hutan dan rentan konflik. Dukungan anggaran serta keterlibatan mitra terkait menjadi kunci keberhasilan penanganan ini,” tambahnya.

Wagub menegaskan tiga langkah penting yang harus segera diperkuat dalam penanggulangan konflik ini. “Pertama, SK Tim Koordinasi perlu diverifikasi ulang agar lebih optimal dan melibatkan pihak terkait secara luas, termasuk kabupaten/kota yang memiliki kawasan terdampak, akademisi, dan media,” ujarnya.

“Kedua, penyusunan SOP penanganan konflik harus jelas, siapa yang bertanggung jawab dan apa yang dikerjakan, sehingga mitigasi penanganan konflik bisa berjalan efektif,” lanjutnya.

“Ketiga, kita perlu melakukan mitigasi jangka panjang melalui pemetaan wilayah rawan, pemantauan satwa, serta pemulihan ekosistem melalui rehabilitasi lingkungan dan sosial,” pungkasnya.

Rapat persiapan ini juga menindaklanjuti rencana tindak lanjut yang sebelumnya belum terealisasi, termasuk revisi SK Tim Koordinasi dan Satgas Penanggulangan Konflik Manusia–Satwa Liar Provinsi Lampung agar lebih detail dalam pembagian tugas dan pola koordinasi lintas instansi.

Selain itu, dibahas pula strategi penguatan kapasitas desa mandiri konflik, penyusunan panduan teknis penanganan konflik, pengembangan ekonomi alternatif ramah lingkungan, peningkatan patroli dan rehabilitasi habitat, hingga penggunaan teknologi seperti GPS collar untuk pemantauan pergerakan satwa.

Kepala Balai Besar Hifzon Zawahiri menyoroti berkurangnya pakan alami sebagai salah satu pemicu satwa keluar dari kawasan.

“Kemungkinan besar pakan satwa yang ada semakin berkurang. Untuk menyelesaikan permasalahan pakan, kita ada masukan solusi kalau babi, terutama babi hutan, akan kita masukkan ke dalam kawasan karena itu pakan yang paling efektif dan berkembang biak cepat,” jelasnya. (Adp)