BANDARLAMPUNG – Panasehat Hukum (PH) Syamsul Arifin, S.H., M.H, menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rio Dwiputra, S.H., terhadap kliennya terdakwa Anta Kesuma bin Arifin, telah mengabaikan kebenaran materiil dan rangkaian fakta persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kalianda, Lampung Selatan.

Bahkan Tuntutan tersebut telah melanggar azas Ultra Petita. Dimana kliennya dianggap melanggar Pasal 81 Ayat (3) Jo. Pasal 82 Ayat (2) dan Ayat (1) Jo. Pasal 76 Huruf (E) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan PP Pengganti UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Satu unsur inti dari pasal tersebut “dengan sengaja melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, Memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.

“Padahal dalam fakta persidangan terungkap dan dapat dibuktikan bahwa unsur tersebut tak pernah ada. Sebab, dari semua kesaksian yang diungkapkan saksi-saksi, tak satu pun yang menerangkan bahwa unsur itu ada dan terjadi. Pertanyaan tentang unsur tersebut secara berkali-kali telah ditanyakan oleh Tim PH maupun majelis hakim,” tegas Syamsul Arifin, Rabu, 13 Agustus 2025.

Malah saksi yang dinarasikan sebagai korban yaitu RK secara jujur telah menerangkan tak pernah mengalami tindak kekerasan, diancam, pemaksaan atau sekedar dimarahi oleh terdakwa. Saksi RK malah kerap minta perlindungan dan kasih-sayang.

“Justru saksi RK mengaku telah didoktrin oleh oknum Penyidik agar mengakui jika kakeknya adalah orang jahat. Ini dapat diselaraskan dengan bukti berupa chatts WhatsApp, Voices Notes (Pesan Suara) dan video yang telah kami sampaikan di persidangan,” tutur Syamsul Arifin.

Antara lain seperti papar Syamsul Arifin, bukti ada pesan suara berisi perkataan saksi RK yang didengarkan didepan persidangan. “Kenapa Bunda nelpon polisi, soal itu kan aku sebelum tinggal tempat nenek itu, dah lama itu kan aku bilang pas bunda nelpon itu aku dah mau siap-siap aku mau sekolah, kakek itu gak jahat, kakek itu gak jahat, gak ngerti juga bunda itu”.

“Aku lagi di rumah bilang kakek suruh jemput aku. Sekarang ini aku udah gak betah lagi Disini”

“Aku mau main ke tempat kakek, tapi sama ayah gak dibolehin”

“Jika JPU bersikap objektif, dengan berpedoman fakta persidangan,  semua rekaman pesan suara saksi RK ini, sebenarnya telah membantah dan memutar balikkan semua tudingan JPU. Bahwa memang tidak ada tindak pidana yang dituduhkan ,” tegas Syamsul Arifin.

Begitu juga keterangan saksi Heri Kurniawan, sebagai bapak kandung dari RK. Heri pun saat hadir di persidangan mengaku terpaksa membuat laporan kasus ke polisi. Sebab dia dipengaruhi oleh Polisi Polsek Natar dengan alasan akan sangat gawat serta membahayakan diri saksi jika seandainya tidak melapor. 

Kemudian dari keterangan saksi Boyman bin SADIMUN yang mengaku melihat terdakwa hingga dijadikan alasan pembenar JPU menuntut terdakwa. Padahal ini merupakan kebohongan. 

Kebohongan yang dibuktikan oleh BAP penyidik, dimana saksi Boyman pernah diperiksa Polsek Natar di bawah sumpah hari Senin, 23 Desember 2024. Dalam kesaksian disumpah tersebut saksi mengatakan pada hari Minggu sekira pukul 15.00 WIB, 6 Oktober 2024 rekan kerjanya yang bernama Anta Kesuma “tak terlihat” masuk ke kompleks pabrik PT Ersindo Beton Abadi (ERBA) melalui Pintu Pos 1 bersama cucunya yang bernama RK.

Tapi saat saksi Boyman kembali diperiksa Penyidik Polsek Natar hari Selasa, 25 Februari 2025, keterangan berubah dan menyatakan pada hari Minggu Tanggal 6 Oktober 2024 saksi MELIHAT terdakwa ANTA KESUMA masuk ke pabrik PT. ERBA melalui Pintu POS 1 bersama cucunya yang bernama RK.

Padahal dari fakta persidangan bukti video jelas terlihat Pintu Pos 1 setiap Hari Minggu selalu Tertutup dan dikunci dari Sabtu siang sampai hari Senin pagi oleh karena tak ada kegiatan di kantor utama PT. ERBA.

“Parahnya JPU justru mendalilkan jika saksi Boyman dapat diperhitungkan nilai pembuktiannya berdasarkan buku absensi tugas. Ini sangat miris. Sebab di Barang Bukti (BB) buku mutasi tersebut justru tertulis dan menegaskan bahwa terdakwa tak ada di lokasi saat peristiwa yang didakwakan terjadi yakni hari Minggu, 6 Oktober 2024 mulai dari pukul 12.00 WIB sampai dengan hari Senin, 7 Oktober pukul 07.00 WIB. Di buku itu malah ditulis dan disebutkan di rentang waktu tersebut, dijelaskan kalau kondisi pabrik dalam situasi aman dan kondusif. Tak ada kejadian atau hal yang mencurigakan. Jadi jujur saja, ini sungguh aneh,” urai Syamsul Arifin lagi.

Kemudian, JPU selalu menekankan jika saksi RK telah merasa ketakutan dan malu hingga pada hari Senin, 07 Oktober 2024 menghubungi orang tuanya Heri Kurniawan untuk dijemput karena merasa ketakutan dan tak nyaman lagi tinggal di rumah terdakwa, ini tegas Syamsul Arifin,  terbantahkan dipersidangan.

Pasalnya saksi RK malah beberapa kali menghubungi dan mengirim pesan suara ke tantenya saksi Cut Devi, yang menyatakan keinginan dan kerinduan untuk bermain ke rumah terdakwa Anta Kesuma serta menyatakan bahwa kakeknya adalah bukan orang jahat, sebagaimana daftar bukti yang telah disampaikan dan diperdengarkan di muka persidangan. 

Dalam daftar bukti ini juga terdapat pesan suara saksi RK yang menegaskan jika semua keterangannya telah diarahkan atau disalah-artikan bahkan disuruh berbohong oleh seseorang oknum polisi yang biasa disapanya OM TIO.

Lalu ada juga terkait hasil pemeriksaan saksi ahli, dalam hal ini psikolog klinis. 

Dalam Tuntutannya JPU jelas mengakui didapati fakta bahwa kemampuan saksi korban RK memiliki hambatan dalam berpikir secara logis. Sehingga diperkirakan kurang mampu mengingat peristiwa secara detail. Kemudian secara emosi, saksi RK cenderung didominasi dorongan ketidaksadaran atau kurang mampu mengontrol dorongan agresi, sehingga belum cukup mampu dalam kematangan secara emosi. 

“Hal ini seharusnya menjadi dasar JPU untuk menuntut bebas demi hukum kepada terdakwa Anta Kesuma karena kesaksian RK tak dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum. Tapi sekali lagi semua bukti dan fakta persidangan ini semua diabaikan JPU,” papar Syamsul Arifin.

Sementara soal saksi ahli poligraf, KARYA WIJAYADI, S.T. bin SLAMET, yang selalu dijadikan DASAR oleh JPU membuktikan dakwaannya, adalah tindakan kebablasan. Sebab Poligraf atau lebih dikenal sebagai alat pendeteksi kebohongan, memiliki kelemahan. Seperti tidak sepenuhnya akurat, dapat dimanipulasi, tak dapat membedakan antara kebohongan dan kebenaran, dapat menimbulkan stres dan lain-lain.

“Harusnya kelemahan-kelemahan ini membuat poligraf tak dapat diandalkan sebagai bukti utama di kasus hukum. Harusnya sebagai seorang aparat penegak hukum, JPU mengerti masalah ini, apalagi pemeriksaan tersebut terdakwa tak didampingi PHnya, dan lebih konyol pemeriksaan dilakukan di kamar hotel dengan terdakwa dikerubuti.  Giliran kesaksian di ruang sidang yang maju menjadi saksi pakai televisi adalah juga bukan yang memeriksa langsung terdakwa di kamar hotel,” tandas Syamsul Arifin.

“Yang cukup menggelikan dari JPU tersebut juga adalah bolak-balik menyitir yurisprudensi seakan tentang pidana yang dituntutnya belum ada undang-undang yang mengaturnya dan tak ada kebenaran materiil yang terungkap di persidangan,” ditambahkan oleh Muhzan Zain, S.H.

Karenanya Syamsul Arifin meminta majelis hakim PN Kalianda yang dipimpin Galang Syafia Arsitama, S.H., M.H., agar dapat menyatakan bahwa tuntutan JPU cacat hukum, tak memenuhi kaedah hukum, dan batal demi hukum serta membebaskan terdakwa Anta Kesuma dari segala dakwaan dan tuntutan. 

“Sepertinya lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah, bukankah kelak di suatu masa kita semua diadili juga ?, pungkas Syamsul Arifin.

Sebelumnya, terdakwa Anta Kesuma oleh JPU Rio Dwiputra dituntut 16 tahun penjara, hari Kamis, 31 Juli 2025. Alasannya terdakwa dinilainya terbukti bersalah melanggar Pasal 81 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.(rls)