BANDARLAMPUNG – Advokat Dr. Gunawan Raka, S.H., M.H., angkat suara. Ini terkait maraknya pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Terbaru adalah pemberian rehabilitasi kepada eks Dirut ASDP Ira Puspadewi yang telah divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

“Dengan maraknya pemberian rehabilitasi oleh Kepala Negara era Presiden Prabowo Subianto ini sepertinya sudah merupakan intervensi kewenangan lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif dalam penegakan hukum pemberantasan tipikor di Indonesia,” tegas Gunawan Raka, Kamis, 27 November 2025.

Menurut Gunawan Raka, seharusnya pemberian rahabilitasi oleh Presiden sebagai kepala negara, dapat dilakukan secara selektif. Dalam hal ini misalnya, pada kasus-kasus peradilan sesat. Yakni dimaknai sebagai Rechterlijke Dwaling (kesesatan hakim), yang bisa diartikan sebagai kegiatan mengadili, dengan memeriksa perkara atau orang yang diadili oleh pengadilan untuk memutus yang dilakukan dengan salah prosedur, salah menetapkan aturan dan salah pertimbangan hukum.

Akibatnya menghasilkan putusan yang merugikan orang yang diadili. Putusan sesat ini nantinya menimbulkan kewajiban kepada Negara untuk mengganti kerugian dan merehabilitasi nama baik orang yang diadili.

“Jika terjadi peradilan sesat, maka Presiden sebagai Kepala Negara dapat melakukan intervensi sesuai dengan kewenangnnya sebagaimana ketentuan yang berlaku dan diatur dalam UU No 5 Tahun 2010,” urainya.

Sementara pada kasus-kasus yang diberikan rehabilitasi, seperti kasus yang menimpa eks Dirut ASDP Ira Puspadewi yang telah divonis 4,5 tahun penjara PN Jakpus, lanjut Gunawan Raka adalah kurang tepat. Pasalnya dalam penegakan hukum menganut azas Res Judicata Pro Veritate Habetur.

Yakni asas hukum yang berarti putusan hakim harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum tetap. Asas ini penting untuk menciptakan kepastian hukum dan stabilitas. Sebab putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diadili kembali kecuali ada mekanisme luar biasa seperti Peninjauan Kembali (PK) karena bukti baru yang signifikan atau kesalahan prosedural yang serius. 

Jadi meski pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi adalah hak prerogatif presiden dan merupakan  kekuasaan istimewa, mandiri, dan bersifat mutlak, tapi sudah sepantasnya dalam penerapannya memiliki landasan atau tolak ukur. Jangan hanya karena viral dan menjadi perhatian media sosial atau karena dekat dengan “sumbu” kekuasaan,  terus langsung diberikan oleh Presiden.

“Jika begitu, bagaimana jika kasusnya tidak viral dan tidak menjadi perhatian media sosial. Banyak sekali kasus-kasus tipikor di daerah, namun di vonis bertahun-tahun penjara. Harusnya yang begini-begini juga diberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto. Sehingga terwujud asas setara di depan hukum yakni equality before the law,  tanpa memandang status sosial, ekonomi, ras, agama, atau latar belakang lainnya,” pungkasnya.(red)