Oleh: Timbul Priyadi, S.H., M.H. *)
MAHKAMAH Agung (MA) Republik Indonesia telah menempuh perjalanan panjang selama delapan dekade sejak didirikan pada 19 Agustus 1945. Sebagai lembaga yudisial tertinggi, MA berperan sebagai garda terakhir dalam penegakan hukum dan keadilan.
Tulisan ini menyajikan tinjauan kritis atas dinamika peradilan, mencermati tantangan integritas, mafia peradilan, transparansi dan kualitas putusan. Di sisi lain, tulisan ini juga mengapresiasi capaian MA dalam aspek transparansi keuangan, reformasi digital, dan pembangunan zona integritas.
Di tengah krisis kepercayaan publik akibat skandal hukum yang melibatkan para pejabatnya, urgensi reformasi struktural, penguatan tata kelola, dan partisipasi publik menjadi fondasi utama untuk menjaga marwah Mahkamah Agung. Mengedepankan prinsip “Pengadilan Bermartabat, Negara Berdaulat,” artikel ini menawarkan catatan kritis dan rekomendasi untuk penguatan kelembagaan MA di masa mendatang.
___
Pendahuluan: Refleksi di Tengah Pusaran Krisis
Sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang diatur dalam konstitusi, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaannya bersifat simbolik sebagai benteng terakhir keadilan ketika jalur lain buntu. Namun, peran vital ini kini menghadapi krisis kepercayaan publik, menyusul terungkapnya serangkaian kasus korupsi di lingkungan peradilan yang melibatkan para hakim hingga pejabat puncaknya.
Perayaan 80 tahun Mahkamah Agung pada tahun 2025 menjadi momen reflektif yang tepat untuk mengkaji secara mendalam bagaimana lembaga ini bergerak dalam pusaran dinamika politik, ekonomi, dan hukum nasional. Dengan menelusuri rekam jejak, tantangan, serta agenda reformasi yang telah dan akan dijalankan, diharapkan muncul kesadaran institusional untuk memperkuat integritas dan memperbaiki wajah peradilan Indonesia.
Tema peringatan ke-80 MA, “Pengadilan Bermartabat, Negara Berdaulat,” mencerminkan hubungan erat antara kualitas lembaga peradilan dan kedaulatan hukum suatu negara. Seperti yang ditegaskan Ketua MA, “Selama Pengadilan Berdiri Tegak dengan Martabatnya, maka selama itu pula Negara ini akan berdiri Kokoh dalam kedaulatannya.”
Martabat pengadilan adalah syarat mutlak bagi tegaknya kedaulatan hukum, yang ditentukan oleh:
• Independensi kelembagaan dan personal hakim.
• Integritas moral dan profesional aparatur peradilan.
• Kemampuan menegakkan hukum secara objektif, adil, dan bebas dari tekanan.
Sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Tanpa sistem peradilan yang bermartabat, negara akan kehilangan legitimasi hukumnya. Namun, apakah realitas Mahkamah Agung hari ini sudah sejalan dengan idealisme tersebut?
Sejarah dan Posisi Konstitusional
Mahkamah Agung didirikan pada 19 Agustus 1945, dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, dengan Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua MA pertama. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung melalui SK KMA/043/SK/VIII/1999.
Secara konstitusional, MA diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lain juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pendahuluan
Tanggal 19 Agustus 2025 menandai delapan puluh tahun usia Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Sejak didirikan dua hari setelah proklamasi kemerdekaan dengan diangkatnya Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua MA pertama, lembaga ini telah menjadi pilar utama dalam sistem peradilan nasional. Perannya sebagai “benteng terakhir keadilan” tidak hanya tercantum dalam amanat konstitusi Pasal 24 UUD 1945, tetapi juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Krisis Integritas: Mafia Peradilan dan Cengkeraman Oligarki
Reformasi peradilan yang telah berjalan lebih dari dua dekade belum sepenuhnya berhasil membersihkan lembaga yudisial dari praktik korupsi dan intervensi kekuasaan. Dalam setahun terakhir, serangkaian kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap hakim di PN Surabaya dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengguncang kepercayaan publik.
Kasus di PN Surabaya, yang melibatkan suap untuk membebaskan terdakwa kasus pembunuhan, tidak hanya menyeret hakim dan ketua pengadilan, tetapi juga mantan pejabat MA.
Penemuan uang tunai senilai Rp915 miliar dan 51 kilogram emas dari makelar kasus mempertegas masifnya praktik mafia peradilan. Belum selesai kasus tersebut, OTT kembali terjadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, pemberian suap untuk membebaskan tiga korporasi besar dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), praktik suap untuk merekayasa putusan sudah dalam kondisi kronis. Setidaknya 29 hakim telah menjadi tersangka kasus korupsi sejak 2011–2024. Selain itu, ICW menyoroti kuatnya cengkeraman oligarki, khususnya di industri strategis, yang memanfaatkan kelemahan hukum untuk membeli impunitas. Rendahnya penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi (vicarious liability) menjadi bukti bahwa penegakan hukum masih terfokus pada pelaku individu, bukan sistem korporasi yang mendorong terjadinya kejahatan.
Capaian Administratif vs. Defisit Keadilan Substantif
Tidak adil jika mengabaikan capaian Mahkamah Agung. Di bidang tata kelola keuangan, MA telah meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK selama 12 tahun berturut-turut.
Program pembangunan Zona Integritas juga menunjukkan konsistensi, dengan 260 satuan kerja memperoleh predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan 16 satuan kerja mendapatkan predikat Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).
Transformasi digital juga menjadi tonggak penting. Inovasi seperti e-Court, e-Litigation, dan e-Berpadu, serta peluncuran 13 aplikasi layanan digital baru, merupakan komitmen MA untuk mempermudah akses masyarakat terhadap layanan peradilan, meningkatkan transparansi, dan efisiensi proses hukum.
Namun, capaian administratif ini belum cukup untuk mengatasi krisis integritas. Kepercayaan publik tidak dibangun oleh laporan keuangan atau predikat satuan kerja semata, melainkan oleh keadilan substantif yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Kesenjangan ini terlihat jelas dalam praktik penegakan hukum: satu wajah yang tegas terhadap rakyat kecil, dan satu lagi yang lentur bahkan permisif terhadap mereka yang memiliki kekuatan ekonomi atau akses kekuasaan.
Keadilan Substantif dan Transparansi : Evaluasi Sistem Peradilan Indonesia
Keadilan di mata hukum seharusnya bersifat netral, tanpa pandang bulu, dan memihak pada kebenaran serta keadilan substantif. Namun, dalam praktiknya, sistem hukum kita seringkali menunjukkan wajah yang berbeda. Terutama ketika berhadapan dengan rakyat kecil, hukum seringkali terlihat lebih memihak pada korporasi, kekuasaan, atau elite sosial-politik.
Sejumlah kasus belakangan ini semakin menegaskan adanya ketimpangan hukum yang mencolok.
a. Dua Wajah Keadilan dalam Praktik Hukum
Masih segar dalam ingatan publik, kasus-kasus seperti:
• Nenek Asyani, yang diproses secara hukum karena dituduh mencuri di lahan perusahaan besar. Perkara ini dibawa ke ranah pidana, dengan ancaman penjara yang tidak proporsional, alih-alih diselesaikan dengan pendekatan sosial.
• Bisrin, pemuda dari Maluku, yang dihukum karena mengambil kayu mangrove untuk memperbaiki rumahnya. Tindakan ini dianggap ilegal meskipun motivasinya bersifat kebutuhan bertahan hidup (survival) dan tidak merusak lingkungan secara sistemik.
• Daniel Frist Maurits, seorang aktivis lingkungan di Karimunjawa, yang dikriminalisasi karena perjuangannya dianggap mengganggu kepentingan investasi. Kasus ini menunjukkan betapa hukum bisa berpihak pada entitas ekonomi besar dan memposisikan pejuang lingkungan sebagai musuh.
• Dalam perkara Thomas Lembong, seorang tokoh publik dan mantan pejabat, yang diduga dikriminalisasi karena sikap politiknya. Meskipun kasus tersebut dihentikan melalui abolisi oleh Presiden, proses hukum yang sarat kepentingan ini menjadi sinyal kuat bahwa hukum bisa diarahkan, tergantung siapa yang terlibat.
Fenomena ini menunjukkan adanya dua wajah hukum: satu yang tegas dan tak berkompromi terhadap mereka yang lemah secara sosial-ekonomi, dan satu lagi yang lentur bahkan permisif terhadap mereka yang memiliki kekuatan ekonomi atau akses kekuasaan.
Di sinilah letak posisi strategis pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan. Hakim, sebagai pemegang peran utama dalam persidangan, harus berani bersikap progresif, tidak sekedar pragmatis dan memilih zona nyaman (comfort zone), tidak boleh terlarut dalam due process of law yang timpang, dan harus berani memutus perkara secara bernas berdasarkan keadilan yang substantif.
b. Transparansi dan kepastian Jangka Waktu Penyelesaian Perkara
Salah satu prinsip utama dalam sistem peradilan modern adalah keterbukaan informasi dan transparansi proses hukum. Prinsip ini merupakan bagian dari akuntabilitas lembaga peradilan kepada publik. Sayangnya, dalam praktik administrasi perkara di Indonesia, terutama di Mahkamah Agung (MA), prinsip ini belum berjalan secara seimbang di semua tingkatan.
Apresiasi Transparansi di Pengadilan Tingkat Pertama
Penerapan sistem penanganan perkara berbasis digital di pengadilan tingkat pertama—baik pengadilan negeri maupun pengadilan agama—melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) patut diapresiasi.
• Penjadwalan Perkara: Informasi jadwal sidang dapat diakses melalui court calendar.
• Akses Putusan: Setelah palu hakim diketuk, amar putusan dapat segera diakses oleh publik melalui SIPP. Salinan putusan pun dapat diunduh langsung oleh pihak berperkara melalui aplikasi e-Court dan e-Berpadu.
Proses ini memberikan rasa kepastian dan akuntabilitas bagi pihak yang berperkara maupun masyarakat luas.
Kesenjangan Transparansi di Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali
Keterbukaan dan transparansi di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung belum berjalan optimal.
Seringkali, meskipun musyawarah hakim agung selesai dalam waktu singkat, publik dan pihak berperkara harus menunggu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, untuk mengetahui hasil dan salinan putusannya secara resmi.
Selain itu, tidak semua putusan yang sudah dibacakan di tingkat kasasi atau PK segera tersedia di sistem SIPP atau Direktori Putusan MA. Keterlambatan ini, terutama dalam kasus-kasus strategis yang menjadi perhatian publik, menimbulkan spekulasi, ketidakpercayaan, dan asumsi negatif terhadap independensi dan integritas peradilan. Menjamin kepastian waktu penerimaan putusan kasasi dan PK bagi para pihak merupakan tantangan besar bagi Mahkamah Agung, mengingat tumpukan perkara yang ada.
Tantangan Internal dan Rekomendasi Reformasi Total
Beberapa persoalan internal masih menjadi penghambat utama reformasi:
• Kekurangan SDM: Jumlah hakim belum proporsional dengan beban perkara yang terus meningkat.
• Sistem Promosi: Belum sepenuhnya berbasis merit dan transparansi.
• Kesejahteraan: Kesejahteraan yang belum memadai menjadi isu mendasar yang berpengaruh pada kerentanan terhadap godaan suap.
• Pengawasan Internal: Belum cukup kuat untuk mencegah pelanggaran secara sistemik.
Dalam Laporan Tahunan 2025, Ketua MA menyatakan bahwa membangun kewibawaan lembaga merupakan prioritas utama. Pernyataan ini tepat dan agar tidak kehilangan makna harus disertai langkah konkret yang menyasar akar persoalan.
Untuk menjadi institusi yang relevan, Mahkamah Agung perlu mengambil langkah-langkah konkret:
1. Reformasi Rekrutmen Hakim: Mengedepankan integritas, kapasitas intelektual, dan rekam jejak moral.
2. Penguatan Pengawasan Eksternal: Melalui kolaborasi intensif dengan Komisi Yudisial dan KPK.
3. Evaluasi Menyeluruh Sistem Promosi dan Mutasi: Agar penempatan pegawai sesuai dengan kecakapan dan kapabilitas.
4. Peningkatan Kesejahteraan: Sebagai investasi integritas, bukan sebagai bentuk kompromi.
5. Membangun Budaya Kelembagaan: Menjunjung tinggi etika profesi dan secara bertahap memulihkan kepercayaan publik.
Penutup : Menjaga Marwah Mahkamah Agung
Sebagaimana pernyataan Bung Karno:
“Mahkamah Agung adalah benteng terakhir keadilan. Jika semua lembaga telah gagal, rakyat berharap pada Mahkamah Agung.”
Mahkamah Agung, pada usia 80 tahun, berada di titik krusial: harus segera menegaskan sikapnya menjadi lembaga yang relevan dalam menegakkan keadilan dan percepatan realisasi visi Mahkamah Agung yaitu “Terwujudnya Badan Peradilan Yang Agung”, atau perlahan tenggelam dalam krisis kepercayaan publik yang akut.
Sebagaimana negara memerlukan pertahanan untuk menjaga kedaulatan wilayah, negara hukum memerlukan pengadilan yang bermartabat untuk menjaga kedaulatan hukum. Dan di titik inilah, MA memainkan peran vitalnya—sebagai benteng terakhir keadilan, pelindung konstitusi, dan penjaga moralitas hukum di Indonesia.
Dan harapan itu, masih mungkin diwujudkan. Jika Mahkamah Agung bersedia menempuh jalan panjang reformasi, bukan sekadar untuk menyelamatkan citra lembaga, tetapi untuk mengembalikan makna keadilan itu sendiri.
Demikian
*) Penulis adalah – Founder N’ Managing Partners Law Office Legal Justitia & Co’
– Hakim Ad Hoc Tipikor Tingkat Banding Periode 2014 – 2024
Referensi bacaan :
• Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
• Peraturan MA No. 7, 8, 9 Tahun 2016
• Maklumat Ketua MA No. 1 Tahun 2017
• DetikNews, Ini Kayu Bakar yang Membuat Bisrin Dipenjara 2 Tahun dan Denda 2 milyar, 24 November 2014
• CNN Indonesia, Nenek Asiani Dinyatakan Bersalah, 23 April 2015
• Humas Mahkamah Agung RI, Highlight Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2022, 7 Maret 2023
• BBC News Indonesia, Aktivis lingkungan karimunjawa divonis tujuh bulan penjara – ‘Kriminalisasi Pembela Lingkugan Tersus terjadi dan perlindungan sangat minim’, 4 April 2024
• Siaran Pers, Indonesia Corruptin Watch, Suap Hakim korupsi minyak goreng: Perselingkuhan jahat mafia peradilan dan oligarki sawit, 15 april 2025
• Mahkamah Agung, 30 Pengadilan Mendapatkan Predikat Berprestasi 2024, 6 Mei 2025
• Mahkamah Agung, Evaluasi ZI Menuju WBK Secara Mandiri Tahun 2025, 8 Mei 2025
• Mahkamah Agung, Rayakan Hari Jadi ke- 80, Mahkamah Agung luncurkan 13 Inovas Alikasi, 19 Agustus 2025