SAYA termasuk penggemar Ratna Sarumpaet. Meski kini dirinya menyandang status sebagai tersangka “hoax”, hal itu tak mengurangi rasa kagum saya atas perjuangannya dalam menyuarakan kebebasan demokrasi di negeri ini, selama ini.

Namun, meski rasa kagum itu terus bertahan, hal itu bukan berarti saya “membenarkan” apa yang telah diperbuatnya. Secara “etika” tindakan ‘berbohong’ tidak bisa diterima. Dan ini harusnya sudah sepadan dengan adanya sanksi sosial yang diterimanya berupa ribuan atau mungkin jutaan ‘caci maki’ dan hujatan. Hanya karena “nila setitik’ hancur sudah “reputasinya’ sebagai salahsatu penyuara dan pejuang demokrasi yang telah dibangunnya puluhan tahun lamanya.

Dan sebenarnya bisa saja masalah ini dianggap selesai. Pasalnya Ratna Sarumpaet secara terus-terang telah mengakui kebohongannya. Bahwa soal penganiayaan yang dialaminya adalah tidak benar dan bohong belaka.

Lalu yang perlu diingat, tidak ada juga kerugian secara ‘fisik’ yang ditimbulkan dari “kebohongannya” tersebut. Selain “kegaduhan dan pengalihan’. Tak ada nama atau lembaga yang dicemarkan.

Kebohongannya murni untuk konsumsi pribadi karena malu mengaku bahwa diusianya yang senja ternyata masih saja atau telah melakukan operasi plastik. Tentunya saja kasus ini sangat berbeda dengan perkara orang yang pura-pura berbohong jika “kendaraannya” telah hilang atau dicuri lantaran untuk mendapatkan asuransi, misalnya.

Tapi yang sudahlah. Kasus ini sudah terlanjur menjadi ramai dan bising karena momennya yang mungkin tidak pas. Kental sekali nuansa politis. Dimana dalam pilpres 2019 nanti, masyarakat seolah-olah terbelah menjadi dua kubu.

Menyatakan yang benar dikubu sana, dituding memihak dan salah oleh kubu satunya. Begitupun sebaliknya.

Jadi kita tunggu saja akhir ceritanya. Semoga ibunda Ratna Sarumpaet, diberi ketabahan menghadapinya.

Dan pelajaran bagi kita semua, jangan “bermain api” jika tak ingin terbakar. Sebab hal yang biasa, kini bisa menjadi tidak biasa, disaat kondisi dan situasi serta momentumnya tidak “memihak”. (wasssalam)