Gendong Bayi Mati

Saya marah dan bertanya di dalam hati dimana jiwa sosial pihak rumah sakit. Dimana keberadaan kepala daerah atau wakil rakyatnya...

Kata orang saya ini tipikalnya keras. Tak punya hati dan kejam. Persepsi ini muncul bagi mereka yang belum mengenal dan memahami. Sialnya sikap istri sayapun ternyata hampir sama dengan mereka yang  “menuduh” tadi.

Tapi sebenarnya dalam keseharian saya mudah menangis. Syukurnya Tuhan YME memberikan kekuatan untuk tidak memperlihatkan tangisan kepada orang lain. Saya diberikan keterampilan untuk menutup rasa kesedihan, miris dan tangis tadi. Untuk konteks ini saya berhasil.  Hingga “orang-orang dekatpun” kadang tertipu.

Sayangnya belum lama ini saya menangis. Bahkan ingin meledak marah tapi tidak tahu kepada siapa. Berawal saat membaca berita online. Konon di sebuah kabupaten di provinsi tetangga, disebutkan ada seorang ayah yang sanggup menahan tangis lebih dari lima jam saat memangku atau menggendong bayinya yang meninggal dunia dalam perjalanan dari rumah sakit tempat dirawat menuju kediamannya.

Sang ayah malang ini hanya sanggup menumpang bus. Dia tidak mampu membayar mobil ambulanc milik rumah sakit tempat dirawat lantaran tarif yang sangat mencekik mencapai angka jutaan. Padahal rumah sakit itu informasinya milik pemerintah. Sebuah kesabaran dan keikhlasan yang tidak mungkin saya miliki dan sanggup saya terapkan.

Saya marah dan bertanya di dalam hati dimana jiwa sosial pihak rumah sakit. Dimana keberadaan kepala daerah atau wakil rakyatnya. Dimana hati dan rasa simpatik mereka. Melihat keadaan ini saya pun berpikir kekejaman dan kekerasan hati saya, sangat sangat tidak sebanding dengan kekerasan dan kekejaman hati mereka.

Karenanya menyambut hiruk pikuk pilgub 2018 nanti, saya pun berdoa bakal ada figur tokoh calon pemimpin Lampung yang jangan terlalu memiliki kekejaman dan kekerasan hati serupa. Saya berjanji untuk memilihnya karena kebetulan memiliki E-KTP yang kini sedang bermasalah. Sebab saya sangat tidak ingin peristiwa sama yang menimpa seorang ayah yang harus menggendong bayi yang telah meninggal selama lima jam di dalam bus hanya karena tidak sanggup membayar mobil ambulanc di provinsi atau kabupaten tetangga, terjadi disini di bumi yang sangat saya cintai.

Jujur, saya pastikan akan sangat meledak dan marah. Meskipun rasa marah itu sepertinya hanya berani saya sampaikan kepada Tuhan YME. Kabar gembiranya, dengan level dan model keimanan yang saya miliki, jangankan kemarahan, doa yang saya panjatkan pun nyaris tak pernah sampai. Terbentur dengan sifat-sifat “kebinatangan” yang saya miliki. Jadi kalaupun nanti pemimpin Lampung seperti itu, dijamin dia akan aman-aman saja. Kecuali yang berdoa adalah anda semua, yang jelas lebih baik dari saya. (wassallam)