JAKATA – Walhi menyebut ada ratusan titik api tercatat dari hasil pembakaran lahan saat panen tebu di Provinsi Lampung. Titik-titik api (hotspot) muncul pada saat panen tebu sejak tahun 2021 atau setelah Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung Nomor 33 Tahun 2020 disahkan. Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri mengatakan, regulasi ini berisi tentang pembolehan atau pemberian izin pada perusahaan memanen tebu dengan cara membakar lahan. Pergub ini diperbarui dengan Pergub Lampung Nomor 19 tahun 2023 tentang tata kelola panen dan produktivitas tanaman tebu.
“Ratusan hotspot (titik api) tercatat sejak tahun 2021 – 2023 di area lahan perkebunan tebu sejumlah perusahaan di Provinsi Lampung,” kata Irfan sebagaimana dilansir dari kompas.com, Rabu (12/6/2024).
“Berdasarkan hasil analisis itu pada tahun 2021 terdapat 57 titik api di lahan konsensi,” kata Irfan.
Kemudian pada 2022 ada 38 titik api dan pada 2023 tercatat 135 titik api. Irfan mengatakan, tren sebaran titik api pada 2021 mulai dari April hingga Desember. Lalu pada 2022 terjadi mulai April hingga September. Kemudian pada 2023 terjadi mulai Maret sampai November.
Seperti diberitakan masa jabatan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi berakhir Rabu, 12 Juni 2024, lalu. “Saya berharap momentum ini dapat dimanfaatkan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa Arinal Djunaidi,” ujar Ketua Umum Transformasi Hukum Indonesia (THI), Wiliyus Prayietno S.H, M.H., Kamis, 13 Juni 2024.
Menurut Wiliyus kini Kejagung maupun KPK, seiring Arinal Djunaidi sudah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Lampung, maka tak perlu lagi sungkan segera melakukan langkah hukum. Misalnya proses penyelidikan maupun penyidikan. Sebab saat ini, tak ada lagi hambatan birokrasi maupun politis.
“Penyidik KPK saat ini bebas untuk proses hukum, seperti melanjutkan klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Arinal Djunaidi yang sempat mencuat beberapa waktu lalu. Begitu juga Kejagung dapat memulai proses hukum pengaduaan laporan terhadap Arinal Djunaidi soal adanya Pergub No 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu yang diajukan kuasa hukum, Muhnur Satyahaprabu,” urai Wiliyus lagi.
Sebelumnya publik Kabupaten Tulang Bawang (Tuba), Provinsi Lampung, menaruh harapan yang besar terhadap kinerja Kejagung mengusut laporan soal adanya Pergub No 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu yang diajukan kuasa hukum, Muhnur Satyahaprabu. Padahal akibat pelegalan panen tebu dibakar nyata-nyata telah mencemari dan merusak lingkungan, mengganggu kesehatan, merugikan negara, serta bertentangan dengan undang-undang.
“Kami masyarakat Tulang Bawang yang selama ini bertahun-tahun telah jadi korban adanya Pergub yang melegalkan panen tebu dibakar, menaruh harapan besar kepada Kejaksaan Agung menindaklanjuti pengaduan tersebut dengan menetapkan pihak yang terlibat sebagai tersangka dan melimpahkan ke pengadilan agar dapat diminta pertanggungjawaban,” tegas warga Kabupaten Tulang Bawang, Gentur Sumedi, Senin, 10 Juni 2024.
Menurut Gentur Sumedi yang juga merupakan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dampak adanya Pergub yang kini telah dicabut itu, sudah membuat masyarakat Lampung, khususnya di Kabupaten Tulang Bawang dan sekitarnya menderita. Dimana dampak polusi udara yang disebabkan pembakaran tebu oleh beberapa perusahaan yang ada seperti PT. Sweat Indo Lampung (SIL) dan PT. Indo Lampung Perkasa (ILP), sangat mengganggu.
Ini bisa dilihat di hampir tiap tahun masyarakat Tuba mengalami derita berkepanjangan. Khususnya saat musim kemarau yang membuat debu hitam pembakaran tebu beterbangan ke rumah warga. Debu mengotori lantai, hingga atas rumah. Bahkan masuk ke dalam sumur warga.
Selain itu udara atau debu yang terhirup, menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan penyakit pernapasan. Mulai dari ASMA, ISPA, hingga TBC serta berbagai penyakit lain. Bahkan asap tebal dan debu hitam hasil pembakaran tebu juga sangat membahayakan aktifitas warga khususnya yang berkendaraan atau melintas di Jalan Lintas Sumatera, karena terkadang jarak pandang tertutup debu atau asap hitam.
“Karenanya sekali lagi kami sangat memohon Kejaksaan Agung menyidik adanya Pergub Lampung yang melegalkan panen tebu secara dibakar. Perkara ini tak kalah fantastisnya dengan skandal kasus korupsi timah yang merugikan negara sebesar Rp300 Triliuan, karena juga disinyalir melibatkan orang-orang kuat, dan pengusaha kakap,” tegas Gentur Sumedi lagi.
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi sendiri diadukan ke Kejagung RI karena diduga terlibat praktik korupsi atas penerbitan Pergub yang memfasilitasi dan mengizinkan pemanenan tebu dengan cara dibakar. Pengaduan dilayangkan Muhnur Satyahaprabu selaku Kuasa Hukum Pemohon Uji Materiil atas Pergub No 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu.
Sebagaimana dilansir detik.com, Muhnur menjelaskan dasar pengaduan setelah sebelumnya Mahkamah Agung (MA) RI membatalkan Pergub Lampung yang menjadi dasar pembakaran pemanenan tebu melalui Putusan Nomor 1P/HUM/2024.
“Tanggal 19 Maret 2024 uji materiil yang kami ajukan ke Mahkamah Agung dikabulkan dan dinyatakannya bahwa Pergub Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Pergub Lampung Nomor 19 Tahun 2023 dibatalkan,” katanya, Minggu (9/6/2024).
“Putusan MA ini sekaligus mempertegas bahwa Pergub itu bertentangan dengan hukum di atasnya. Akibat adanya aturan ini, perusahaan tebu menjadi diuntungkan karena biaya panen atau biaya operasional kebun tebu jadi lebih hemat dan murah. Di sisi lain, kebijakan yang memperbolehkan pembakaran mengakibatkan kebakaran di Provinsi Lampung jadi semakin tidak terkendali,” sambungnya.
Setelah aturan dibatalkan, Muhnur menerangkan pihaknya mencurigai adanya praktik tindak pidana korupsi penerbitan keputusan gubernur. Menurutnya aturan itu memang sengaja dibuat untuk menguntungkan beberapa perusahaan-perusahaan gula di Lampung.
“Muncul pertanyaan di kami kenapa Gubernur Lampung bisa menerbitkan aturan yang bertentangan dengan hukum. Kemudian kami menduga aturan ini sengaja dibuat untuk menguntungkan perusahaan di Lampung dan dari sini kami menduga ada juga keuntungan yang didapat Gubernur Lampung atas penerbitan itu. Padahal kami meyakini Gubernur Lampung mengetahui bahwa pemerintah tak menoleransi adanya pembakaran (zero burning) hasil perkebunan,” terangnya.
Muhnur mengatakan, dari penghitungan Ahli Lingkungan, kerugian lingkungan yang diakibatkan pembakaran tebu mencapai sekitar Rp17 triliun. Yaitu berupa kerugian ekologis, ekonomis, dan pemulihan apabila perhitungan dilakukan sejak kurun waktu 2020 hingga 2023.
“Kami berharap pengaduan yang kami ajukan agar penyidik pada Kejaksaan Agung mampu mengungkap motif korupsi yang melatarbelakangi peraturan gubernur tersebut yang telah merugikan negara,” tandasnya.
Sebagai informasi, Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu:
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2022;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- Undang Undang Nomor 22 tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan;
- Peraturan Menteri Pertanian No.53/Permentan/KB.110/10/2015 tentang Pedoman Budidaya Tebu Giling yang Baik, dan
- Peraturan Menteri Pertanian No: 05/PERMENTAN/KB.410/1/2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar.(net/rls)