BANDARLAMPUNG � Sidang keenam gugatan perdata terhadap Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Dr. Syarief Makhya, M.Si, Senin (28/8) berlanjut. Dalam sidang yang dipimpin hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Hazmi, S.H.,M.H., ini upaya mediasi yang dilakukan gagal. Alasannya baik penggugat maupun tergugat bersikukuh pada argumennya masing-masing.

Pada sidang ini penggugat Maruli Hendra Utama, S.Sos, M.Si, yang juga merupakan Dosen Sosiologi Fisip Unila membuka diri menyelesaikan perkara secara musyawarah dan kekeluargaan. Hal ini sepanjang tergugat mencabut laporan polisi dan mengganti kerugian materil sebesar Rp.78.441.712 dan kerugian imateriil Rp.270 miliar yang dia alami.

Sayangnya keinginan penggugat ditolak kuasa hukum pihak tergugat I dan II. Tergugat justru menginginkan agar penggugat mencabut gugatan serta meminta maaf. Alasannya karena pihak tergugat mengalami kerugian materil dan imateriil.

�Karena tak ada kesepakatan baik penggugat maupun tergugat tetap akan melanjutkan jalannya persidangan. Sidang rencana digelar kembali Hari Senin, 4 September 2017 dengan agenda jawaban tergugat I dan II atas gugatan penggugat,� terang Maruli.

Seperti diberitakan lantaran diduga melawan hukum Rektor Unila Hasriadi Mat Akin dan Dekan Fisip, Syarief Makhya digugat Maruli Hendra Utama. Dalam gugatannya, warga Kompleks Bumi Puspa Kencana, Gedung Meneng, Rajabasa menuntut ganti-rugi sebesar Rp300 miliar lebih yang disampaikan dalam sidang di PN Tanjungkarang.

Dalam surat gugatannya dijelaskan kasus ini bermula saat penggugat yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah habis masa studi pendidikan program Doktor dalam bidang Sosiologi pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran (Unpad). Selanjutnya tanggal 10 November 2016, Fisip Unila mengirim surat kepada Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Unila. Isinya pengembalian mahasiswa yang telah habis studi atas nama penggugat untuk selanjutnya di kembalikan ke Fisip Unila.

Sayangnya, meskipun masa belajar penggugat telah habis di Fisip Unpad dan penggugat telah dikembalikan sebagai tenaga pengajar Fisip Unila sejak bulan Oktober 2016, ternyata baru bulan Juni 2017, penggugat diaktifkan sebagai tenaga pengajar oleh para tergugat. Akibatnya sejak bulan Oktober 2016 sampai Juni 2017 penggugat hanya menerima gaji pokok sebesar Rp3.350.000. Sedangkan tunjangan seperti keluarga, jabatan, beras, sertifikasi dosen dan remunerasi tidak penggugat terima sehingga menimbulkan kerugian materiil sebesar Rp78.441.712.

Sementara akibat kerugian immateriil, penggugat mengaku mengalami kerugian sebesar Rp300 miliar. Pasalnya lantaran perbuatan tergugat, timbul rasa malu dan tercemarnya nama baik penggugat sebagai tenaga pengajar di hadapan civitas akademik maupun mahasiswa Unila.

Dari berbagai uraian tersebut, penggugat menilai perbuatan para tergugat dikategorikan sebagai aksi melawan hukum. Sebab perbuatan ini bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melawan hak subjektif penggugat serta melanggar kaidah tata susila. Lalu bertentangan azas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati.

Berdasarkan hal itu, penggugat lantas memohon agar majelis hakim PN Tanjungkarang dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini. Antara lain dengan menyatakan para tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum serta menghukum tergugat membayar ganti-rugi sebesar Rp300.078.441.712 kepada penggugat.

Lantas bagaimana sikap tergugat? Dekan Fisip Unila, Syarief Makhya saat dihubungi koran ini mengaku telah menyerahkan permasalahan tersebut kepada tim advokasi Unila. Mereka adalah, Dr. Maroni, S.H., M.H. dan Gunawan Jatmiko, SH, MH. �Jadi silakan konfirmasi pada tim penasehat hukum,� sarannya.

Sementara itu dihubungi terpisah, tim advokasi Unila, Maroni menjelaskan jika perkara ini sudah diperiksa dan telah masuk tahap mediasi oleh hakim PN Tanjungkarang. �Karenanya pada prinsipnya, kami siap menghadapi gugatan yang dimaksud,� tegasnya.(red)