BANDARLAMPUNG � Mencuatnya kasus dugaan penggelapan dan jualbeli aset serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap aset yang disita negara milik terpidana Sugiarto Wiharjo alias Alay TRIPANCA mendapat perhatian, Rudi Antoni, S.H., M.H. Ketua Umum Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) Provinsi Lampung periode 2020-2025 ini berharap baik Mabes Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI segera merespon masalah tersebut.

Caranya dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Harapannya agar kasus yang melibatkan banyak pihak seperti oknum pengacara, notaris, pengusaha, aparat penegak hukum, staf Badan Pertanahan Nasional (BPN) dll, dapat terungkap. Dan yang lebih penting kerugian negara senilai ratusan miliaran rupiah dapat terselamatkan.

�Harusnya dengan dilaporkan kasus ini ke Mabes Polri dan KPK, membuat kita semua malu karena menandakan lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum di daerah. Tapi tak mengapa, jika kasus ini ditangani langsung Mabes Polri dan KPK, sehingga semua pihak terlibat dapat diungkap dan ditelisik, tanpa harus ada rasa sungkan dan ewuh pakewuh,� tegas Rudi Antoni.

Lebih jauh, Rudi Antoni juga menyesalkan mengapa aparat kejaksaan baik itu Kejati Lampung maupun Kejari Lampung Timur (Lamtim), tidak merespon dengan cara berkoordinasi bersama Pemkab Lamtim. Yakni dalam rangka mengeksekusi putusan perdata Nomor : 10/PDT.G/2009/PN. TK. Dimana gugatan yang berakhir DAMAI dan dituangkan di AKTA PERDAMAIAN No: 10/PDT.G/2009/PN. TK 19 Maret 2009, PN Kelas 1A TK Tanggal 26 Mei 2009 telah menerbitkan PENETAPAN Nomor : 09/EKS/2009/PN. TK guna melaksanakan SITA EKSEKUSI 100 Bidang Tanah Milik Sugiarto Wiharjo. Lalu dilanjutkan tanggal 28 Mei 2009 sampai 1 Juni 2009 saudara M. MARWAN DJAJA PUTRA S.H. selaku Juru Sita pada PN Kelas 1A Tanjung Karang atas Surat Perintah Tugas Nomor : 12/PAN/2009/PN.TK Tanggal 26 Mei 2009 telah melaksanakan SITA EKSEKUSI terhadap 66 (Enam Puluh Enam) Bidang Tanah/Obyek Sita yang terletak di Bandar Lampung sebagaimana tertuang di BERITA ACARA PENYITAAN EKSEKUSI (Executorial Beslag) Nomor : 09/EKS/2009/PN.TK.

Jika ini dilakukan, tentunya aset-aset itu tidak bisa beralih tangan, diperjualbelikan dan disamarkan akibat dilakukan permohonan angkat sita oleh pengacara Sopian Sitepu.

�Tapi ya sudahlah semua sudah terjadi. Sekarang jaksa sebagai eksekutor dapat melaksanakan putusan perdata itu dengan berkoordinasi bersama Pemkab Lamtim dalam upaya eksekusi dan melakukan lelang aset Alay yang telah disita Pemkab Lamtim sesuai gugatan Satono baik selaku Pribadi maupun Bupati Lamtim. Ini semata untuk mengembalikan kerugian negara yakni Pemkab Lamtim yang nilainya ratusan miliaran rupiah,� tandas Rudi Antoni lagi.

Seperti diketahui Kuasa Hukum Kantor Law Firm SAC & Partners Advocates and Legal Consultans, Amrullah, S.H, tak hanya melapor ke Mabes Polri soal kasus penggelapan dan jualbeli aset terpidana Sugiarto Wiharjo alias Alay TRIPANCA. Amrullah ternyata mengadukan hal ini ke KPK RI. Yakni khusus kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).

�Ada beberapa pihak yang kami adukan yang kami indikasikan merugikan keuangan negara ratusan miliaran rupiah,� terang Amrulllah.

Antara lain, 1. Yurike, anak dari terpidana tipikor Sugiarto Wiharjo alias Alay. 2. Meriana, istri Alay. 3. Ricky Yunaraga, Pemilik BPR Tri Surya pengelola aset terpidana tipikor Alay. 4. Puncak Indra, alamat di Jalan DR. Cipto Mangunkusomo Nomor: 98-A RT.01 Kupang Teba, Telukbetung Utara, Pengelola Pabrik Air Mineral PT, Prabutirta Jaya Lestari dan aset Alay. 5. Budi Winarto Alias Awie, Pengelola Pabrik Air Mineral PT. Prabutirta Jaya Lestari dan aset Alay. 6. Tapif Agus Suyono, Pengelola Pabrik Air Mineral PT, Prabutirta Jaya Lestari dan aset Alay.

Lalu ke 7, Fenti Yohana, isteri Budi Winarto Pengelola Pabrik Air Mineral PT, Prabutirta Jaya Lestari dan aset Alay. 8. Budi Priyanto, orang kepercayaan Alay. 9. Samiadi, orang kepercayaan Alay. 10. Asvi Maphilindo Volta, S.H., Notaris Alay. 11. Sopian Sitepu, S.H., pengacara Satono dan Pengacara Alay. 12. Alandes (staff Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pesawaran.

Kemudian 13., ada Andre Setiawan, Jaksa Kejati Lampung. 14. Donny, pembeli benda sita eksekusi pantai Sahara/QUEEN ARTA. 15. Notaris dan PPAT ANDRIANTO, S.H.,M.Kn. di Bandarlampung. 16. Budi Setiawan alias Keng Wie Direksi PT. Astrakasetra Jaya Abadi.

Masih ada lagi, yakni Sumarsih, S.H., pengacara Alay., Hengky Wijaya alias ENGSIT (adik Sugiarto Wiharjo), alamat di Jalan RW MONGISIDI Nomor: 71-A Pengajaran, Telukbetung Utara, Bandarlampung. Terus, Honggo Wijaya (adik Sugiarto Wiharjo), alamat di Jalan Gatot Soebroto Nomor 68, Pecoh Raya, Telukbetung Utara.

Diungkapkan Amrullah, dia bersama pengacara Irfan Balga S.H. dan Biana Heikal, S.H., mendapat Surat Kuasa Khusus, 17 Oktober 2019, dari Hj. Rice Megawati. Kliennya ini isteri terpidana Tipikor APBD Kabupaten Lampung Timur (Lamtim) Hi. SATONO, SH. SP. bin Hi. DARMO SUSISWO. Sebagai isteri Satono, kliennya bermaksud mengembalikan kerugian APBD Lamtim Rp. 117.000.000.000.00 (Seratus Tujuh Belas Milyar Rupiah) sebagaimana ada di 2 (dua) Putusan MA-RI. Yakni Nomor: 510K/PID.SUS/2014, 21 Mei 2014 atas nama Sugiarto Wiharjo alias Alay TRIPANCA dan Putusan Nomor: 253 K/PID.SUS/2012 Tanggal 19 Maret 2012, atas nama Hi. Satono, SH. SP. bin Hi. Darmo Susiswo.

Tapi maksud dan itikad baik kliennya, tidak tersampaikan. Itu karena harta benda ex milik Sugiarto Wiharjo yang jadi Obyek Sita eksekusi di Perkara Perdata antara suami kliennya, Satono melawan PT. BPR TRIPANCA SETIADANA selaku TERGUGAT I, SUGIARTO WIHARJO Selaku Tergugat II, PODIYONO WIYANTO selaku Tergugat III dan RADEN EDI SOEDARMAN Selaku Tergugat IV, diduga telah dijualbelikan oleh Sopian Sitepu dan Sumarsih bersama Sugiarto Wiharjo.

Kronologis bermula saat Satono selaku Bupati Lamtim dituduh korupsi menyimpan Dana APBD Lamtim di Bank Swasta (PT. BPR Tripanca Setiadana) milik Alay. PT. BPR Tripanca Setiadana dinyatakan Bank Gagal Bayar (Likuidasi) yang membuat Dana APBD Lamtim sebesar Rp. 106.000.000.000., tak dapat ditarik. Atas kejadian ini membuat Bupati Satono kuatir. Dia mengajukan Gugatan Perdata kepada PT. BPR. Tripanca Setiadana ke Pengadilan Negeri (PN) TK. Tujuannya mengembalikan dana APBD yang disimpan PT.BPR Tripanca Setiadana milik Alay.

Gugatan Satono diajukan Kuasa Hukum, Sopian Sitepu dan Sumarsih. Ini terdaftar di Register Perkara Nomor : 10/PDT.G/2009/PN. TK. Gugatan berakhir DAMAI dan dituangkan di AKTA PERDAMAIAN No: 10/PDT.G/2009/PN. TK 19 Maret 2009. Dimana ditegaskan Alay akan menyerahkan 100 Bidang Tanah ke Satono selaku Pribadi maupun Bupati Lamtim.

Tapi pada kenyataan, Alay tidak menyerahkan seratus bidang obyek tanah itu. Akibatnya PN Kelas 1A TK Tanggal 26 Mei 2009 menerbitkan PENETAPAN Nomor : 09/EKS/2009/PN. TK guna melaksanakan SITA EKSEKUSI 100 Bidang Tanah Milik Sugiarto Wiharjo sebagaimana tercantum di Akta Perdamaian. Dilanjutkan tanggal 28 Mei 2009 sampai 1 Juni 2009 saudara M. MARWAN DJAJA PUTRA S.H. selaku Juru Sita pada PN Kelas 1A Tanjung Karang atas Surat Perintah Tugas Nomor : 12/PAN/2009/PN.TK Tanggal 26 Mei 2009 telah melaksanakan SITA EKSEKUSI terhadap 66 (Enam Puluh Enam) Bidang Tanah/Obyek Sita yang terletak di Bandar Lampung sebagaimana tertuang di BERITA ACARA PENYITAAN EKSEKUSI (Executorial Beslag) Nomor : 09/EKS/2009/PN.TK.

Tapi belakangan aset yang telah di SITA EKSEKUSI dan jadi milik atau dikuasai Pemkab Lamtim berpindah tangan kepihak ketiga karena dijualbelikan. Satu diantaranya diduga aset yang kini ditempati oleh Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Lampung di Jln. Way Sekampung, Bandarlampung. Itu dapat terjadi dikarenakan Sopian Sitepu Cs telah melakukan Pengangkatan Sita Eksekusi.

�Ini yang membuat seluruh Obyek Sita Eksekusi ada di Pihak ke-3 (Ketiga). Padahal sejak 23 November 2009, surat kuasa Sopian Sitepu Cs dicabut Satono. Ini kan janggal. Sudah surat kuasa dicabut untuk tidak lagi melakukan pendampingan, pembelaan maupun pengajuan eksekusi oleh Satono, tapi mereka tetap bisa melakukan permohonan angkat sita sehingga aset bebas dijualbeli beralih ke pihak lain. Mirisnya hasil penjualan aset negara secara ilegal ini tak ada uang yang masuk ke kas Pemkab Lamtim. Andaipun Sopian Sitepu mengakui pengangkatan sita eksekusi atas perintah Satono yang DPO, pertanyaannya, dimana dan bagaimana bertemu, berkomunikasi dengan Satono yang buron. Ini jelas aneh,� paparnya seraya menyatakan Sopian Sitepu selain pengacara Penggugat (Satono) di saat hampir bersamaan jadi pengacara Alay hingga patut diduga terjadi malpraktek menjadi pengacara penggugat sekaligus tergugat.

Terkait dengan TPPU, diungkapkan Amrullah, bahwa selain kerugian Pemkab Lamtim, sebesar Rp. 117.000.000.000.00, ada juga Kerugian APBD Pemkab Lampung Tengah sebesar Rp. 28.000.000.000.00 (dua puluh delapan Milyar Rupiah); dan Kerugian LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) Bank Indonesia� sebesar Rp. 312.747.346.016,00 (tiga ratus dua belas milyar tujuh ratus empat puluh tujuh juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam belas rupiah) dalam persoalan ini.

Lalu, diketahui bahwa rencana lelang atas 31 (tiga puluh satu) Bidang Tanah oleh PPA (Pusat Pemulihan Asset) Kejagung RI melalui Kejari Bandarlampung adalah aset milik Nasabah PT. BPR� Tripanca Setiadana, bukan atas milik Terpidana Sugiarto Wiharjo alias Alay.

Sementara aset-aset Alay sendiri serta bukti korupsi lain tidak nampak dalam PUTUSAN MA-RI NOMOR : 510K/PID.SUS/2014 Tanggal 21 Mei 2014. Ini membuat harta benda hasil korupsi Alay belum tersentuh aparat hukum. Melainkan bertaburan dan disamarkan menjadi modal pelarian Alay saat buron. Ironisnya lagi setelah Alay tertangkap upaya pengalihan, penyamaran dan penjualan aset masih terjadi. Aset ini diketahui ada yang dialihkan, diperjualbelikan, disamarkan Alay, saat dirinya di Rutan Way Hui dan Lembaga Permasyarakatan (LP) Rajabasa.

Bukti-buktinya terlihat di AKTA PERJANJIAN KERJASAMA Nomor: 125 tanggal 31 Mei 2011 yang dibuat Notaris Asvi Maphilindo Volta, SH, antara Yurike, Meriana, Puncak Indra, Budi Winarto, Tapif Agus Suyono, Fenti Yohana, terkait PENGALIHAN PABRIK AIR MINUM TRIPANCA. PT. PRABUTIRTA JAYA LESTARI.

Kemudian Akta Notaris Nomor: 77 tanggal 25 September 2011 yang dibuat oleh Notaris Asvi Maphilindo Volta, S.H. Lalu akta Notaris Nomor: 94 tanggal 26 Juni 2014, akta Notaris Nomor: 121 tanggal 27 September 2015, akta Notaris Nomor: 25 tanggal 12 Februari 2016 dan akta Notaris Nomor 08 tanggal 04 Januari 2018.

Lalu ada juga yang termuat di akta notaris Asvi Maphilindo Volta, S.H. nomor 23, 24, 26 dan 27. Semua akta notaris ini dibuat 12 April 2012. Di akta itu, diantaranya dijelaskan soal aset Eks Gedung 21 dengan luas bangunan 4000 M2, yang keseluruhan lahannya seluas 20.372 M2 di Kelurahan Sukaraja, Bandarlampung. Aset ini ditebus/dilunasi Alay dan diatasnamakan Puncak Indra. Kemudian Pantai Lempasing dengan luas 88.110 M2 dulu masuk Kabupaten Lampung Selatan. Kemudian aset Gudang PT. Aneka Sumber Kencana seluas 14310 M2 di Garuntang, Bandarlampung dan Gudang SHARP seluas 44.389 M2. Aset ini disamarkan dengan dibuat kerjasama dan akan dibaliknamakan ke Budi Winarto dan Antonius Hadiyanto. Lalu adapula beberapa aset yang diperjualbelikan.

Beberapa nama yang kami sebutkan di atas, tegas Amrullah, secara faktual dan bukti yang ada diduga terkait TPPU baik langsung maupun tak langsung. Untuk mengetahui lebih banyak lagi siapa yang melakukan TPPU, maka KPK diharapkan melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut dengan mempelajari dan menganalisi bukti yang telah disampaikan.

Selain itu, pihaknya mengadukan ini semua karena ingin mengetahui apakah hasil Penjualan 66 Bidang Obyek Sita Eksekusi berdasarkan PENETAPAN SITA EKSEKUSI NOMOR : 09/Eks/2009/PN. TK Tanggal 26 Mei 2009 sebesar Rp. 600.000.000.000.- (enam ratus milyar rupiah) berdasarkan Nilai Jual dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) PT. Damasindo Nilai utama Profesional Apprisers & Consultans pada tanggal; 03 April 2007 untuk 43 (empat puluh tiga) bidang saja milik PT. Tripanca Group, serta beberapa aset lainnya yang sudah dipindahtangankan, telah diserahkan ke Pemkab Lamtim dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau tidak.

�Jangan sampai persekongkolan jahat yang selama ini terjadi sehingga penyelesaian Kasus Tripanca yang telah menghabiskan uang Negara lebih dari Rp. 500. 000.000.000.(lima ratus milyar rupiah) lebih ini hanya diselesaikan secara terpenggal-penggal. Dan pihak-pihak yang terbukti terlibat dan menikmati hasil korupsi Alay, tidak dilakukan upaya hukum,� tutupnya.(red)