BANDARLAMPUNG – Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., angkat bicara terkait adanya langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendampingi  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) untuk menghentikan operasional dermaga Penyeberangan Sari Ringgung dan kawasan wisata Pulau Tegal. Alasannya karena dilokasi tersebut sedang dalam proses penyelidikan PPNS atas dugaan tindak pidana.

Menurut pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila), tindak pidana lingkungan dapat berupa perusakan dan pencemaran lingkungan serta melakukan kegiatan atau usaha tanpa izin lingkungan. Dan lazimnya dalam hal perizinan, seringkali terkait dengan adanya tindak pidana suap dan gratifikasi.

“Kalau tindak pidana lingkungan adalah tindak pidana umum yang lidiknya dilakukan polisi. Tapi kalau suap dan gratifikasi adalah tindak pidana korupsi yang lidiknya dapat dilakukan polisi, jaksa atau KPK,” terangnya.

Sebelumnya diberitakan bukan hanya soal perizinan Pulau Tegal saja yang diduga bermasalah. Ternyata ada beberapa pelanggaran lain yang kini tengah diselidiki Bareskrim Mabes Polri. Kepastian ini ditegaskan Karokorwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo saat meninjau lokasi wisata di Pulau Tegal, Selasa (6/8).

Menurut Prasetijo Utomo, yang juga merupakan Ketua Tim Penyelidik PPNS di Pulau Tegal, pihaknya tengah mendalami indikasi tindak pidana di Pulau Tegal mengenai kerusakan lingkungan. Yakni soal adanya reklamasi. ”Kini apa saja yang menjadi dampak yang terjadi atas reklamasi lagi kami selidiki,” tuturnya.

Dipastikannya, berdasarkan pantauan pihaknya, kuat dugaan ada pelanggaran hukum yakni kerusakan lingkungan. ”Karenanya kami memasang plang peringatan bahwa pulau ini dalam proses penyelidikan PPNS dalam dugaan tindak pidana,” tegasnya.

Berdasarkan pantauan dilapangan, di plang peringatan yang dipasang tertulis beberapa pelanggaran yang diduga dilanggar pihak pengelola Pulau Tegal. Yakni pasal 98 dan 109 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Lalu, pelanggaran pasal 69 ayat (1) pasal 74 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Selanjutnya pelanggaran pasal 75 jo pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ancaman hukuman paling lama 3 tahun penjara dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Terakhir, pelanggaran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil dengan ancaman hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak sepuluh miliar rupiah.

Disisi lain Bareskrim Mabes Polri diharapkan menuntaskan pelanggaran pidana kasus reklamasi yang dilakukan pengelola atau pengembang Pulau Tegal di Desa Sido dadi, Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran tersebut. Harapan ini disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonsia (Walhi) Lampung yang sejak awal konsisten mengawal kasus reklamasi Pulau Tegal. Walhi berharap aparat penegak hukum mengusut tuntas permasalahan reklamasi hingga ke akar-akarnya.

“Aparat penegak hukum harus tegas. Jangan hanya masalah izin Pulau Tegal yang dipersoalkan. Tapi masalah reklamasi yang terpampang didepan mata juga harus diteruskan pidananya. Sebab setiap penggerusan tanah negara yang tidak sesuai izin wajib mendapat konsekwensi hukum,” tegas Irfan Tri Musri selaku Manager Advokasi dan kampanye, Walhi Lampung.

Menurut Irfan Tri Mursi kegiatan reklamasi di lokasi pantai Marita Sari dan Pulau Tegal berdampak kerusakan ekosistem di lingkungan sekitar. Terutama kerusakan terumbu karang. Untuk itu penegakan hukum harus berjalan. Lalu sebagai recovery juga harus ada pemulihan lokasi reklamasi seperti semula.

“Jika hanya penyegelan, bisa menjadi preseden buruk karena tak ada efek jera. Sebaliknya jika ditegakkan hukum, maka jadi terobosan baru bahwa penegakan hukum tidak tebang pilih alias sama dimata hukum. Siapapun orangnya, harus diproses sesuai hukum,” jelasnya.

Diuraikannya dalam kasus dugaan reklamasi di pantai Marita Sari dan Pulau Tegal sudah jelas ada pelanggaran hukum. Bahkan melanggar undang undang dan Peraturan Daerah (perda) Provinsi Lampung tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

“Pelanggarannya sudah jelas. Bahkan tiga UU dan Perda dilanggar, yaitu Perda No 1 tahun 2018 tentang zona wilayah pesisir dan pulau kecil. UU No 32 tahun, 2019 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil serta UU No 26 tahun 2007 tentang rencana tata ruang wilayah,”bebernya.

Sementara itu, Penasehat Hukum Robinson Pakpahan, S.H., dari kantor Advokat dan Penasehat Hukum Law Firm SAC & Partners, menegaskan jika tanah di Pulau Tegal yang menjadi pusat perhatian KPK, KKP, KLHK, Kementerian ATR, serta Mabes Polri lantaran melanggar hukum itu adalah milik pengusaha Lampung, Babay Chalimi.

“Ini berdasarkan putusan yang sudah inkracht van gewijzde di Pengadilan Negeri Tanjungkarang dengan Register Perkara Nomor : 15/PDT.G/2002/PN.TK,” pungkasnya.(red/net)