BANDAR LAMPUNG � Pengacara Hukum (PH) Babay Chalimi, Robinson Pakpahan membantah klaim Thomas Azis Riska atas kepemilikan Pulau Tegal sesuai Surat Hak Milik (SHM) No. 1 PC Tahun 1973 seluas 128 hektar (Ha). Ia mengatakan,�SHM atas nama Kohar Widjaja itu luasnya hanya 18,74 Ha, sedangkan luas seluruh Pulau Tegal sekitar 120 Ha.

Robinson yang dari Advokat Law Firm SAC and Partners mengatakan, dari tujuh sertifikat atas nama Kohar Widjaja, Valentina Rahayu, dan lainnya (SHM 185, SHM 1/Pc, SHM 184, SHM 186, SHM 272, SHM 187, SHM 188) saja luasnya cuma 56,14 ha.

�Selebihnya, separuh lebih pulau tersebut milik Pingping dan warga. Jadi, pernyataan dia (Thomas Riska) itu nggak bener,� katanya.

Dia mempertegas lahan seluas 56,14 ha itulah yang seharusnya diserahkan kepada Babay Chalimi sebagai konpensasi sita jaminan empat aset yang kasusnya sudah inkracht van gewijzde perkara No.15/PDT.G/2002/PN di PN Tanjungkarang.

�Jadi, pemegang surat-surat, termasuk Thomas, menguasainya secara tidak sah. Seharusnya, surat-surat tersebut diserahkan kepada Babay Chalimi sebagai ganti tidak disitanya empat aset lain milik Kohar Wijaya,� katanya.

Kohar Wijaya alias Athiam telah menyerahkan 56,14 ha lahan di Pulau Tegal lewat pernyataan di atas materai kepada Babay Chalimi pada 16 Februari 2004. �Saksinya masih ada karena yang digugat tiga orang,� katanya.

Sementara itu Tokoh adat Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie mengatakan setahunya sejak puluhan tahun lalu Pulau Tegal itu milik Babay Chalimi. �Kenapa sekarang diacak-acak? Babay itu kawan lama, saya tahu betul,� ujarnya. �Elu juga kan punya datanya,� katanya.

Alzier mengatakan hal itu via telepon menanggapi polemik tak adanya ijin pembangunan kawasan yang berada di Pesawaran tersebut jadi kawasan wisata Tegal Mas Island.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali menegur hingga menyegel dermaga penyeberangannya karena kawasan tersebut tak mengantongi izin pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K). Bagaimana punya ijin, kata Alzier, kegiatan reklamasi, land clearing, serta pembangunannya karena alas hak kepemilikan lokasinya tak dimiliki oleh pihak-pihak yang mengkomersilkan pulau tersebut.

�Makanya jangan asal membangunlah di Lampung ini. Izin-izin belum lengkap, belum ada, asal-asalan, nekat-nekatan. Itu, kampung saya Kabupaten Pesawaran,� ujar penggagas pemekaran Kabupaten Pesawaran itu.

Terkini Babay Chalimi sendiri lanjut Robinson mengatakan kliennya tak mempermasalahkan Pulau Tegal dikembalikan sebagai kawasan konservasi atau pariwisata.

�Klien kami lebih senang jika dikembalikan jadi kawasan konservasi namun jika masyarakat, pemangku kepentingan, dan investor tetap ingin sebagai kawasan wisata juga tak masalah,� ujar Robinson.

Tentu saja, kata dia, jika tetap sebagai kawasan wisata, akan tetap mengedepankan konservasi. Bukan malah dengan mengobrak-abrik bentang alam apalagi sampai mengangkangi hukum terkait pengelolaan pulau.

Selama puluhan tahun, Babay Chalimi membiarkan pulau tersebut alami. Para nelayan juga tak dipermasalahkannya mampir bahkan mengambil buah kelapa yang tumbuh di pulau tersebut.

Namun, karena ada yang �menyerobot�, kata Robinson Pakpahan, pihaknya tengah berupaya menguasai kembali sekaligus memeroses hukum pihak-pihak yang telah �mengubrak-abrik� pulaunya dua tahun terakhir ini. (rls)